COP16 yang digelar di Kolombia. (Foto: ist)
COP16 yang digelar di Kolombia. (Foto: ist)

Enam Pemuda Inspiratif Wakili Indonesia di Konferensi Biodiversitas dan Keadilan Iklim Kolombia

JAKARTA, rindang.ID | Pekan ini, lebih dari 190 negara akan berpartisipasi dalam Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP CBD 16) di Cali, Kolombia. Kegiatan ini akan mempertemukan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi pemerhati, masyarakat adat, bisnis, kelompok orang muda, masyarakat sipil, dan akademisi. 

Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, menegaskan, konferensi tersebut sangat relevan dengan Indonesia yang biodiversitasnya sangat tinggi. Biodiversitas tak hanya mencakup satwa dan tanaman, melainkan juga manusia, termasuk masyarakat adat yang juga menjadi bagian dari ekosistem itu sendiri.

“COP kali ini sangat penting untuk menunjukkan siapa sebenarnya penjaga keanekaragaman hayati atau biodiversitas di bumi ini. Juga untuk memastikan kehidupan yang selaras dengan alam. Gangguan alam sekecil apa pun akan berdampak signifikan terhadap kehidupan manusia, karena manusia sejatinya menjadi bagian dari ekosistem tersebut. Contohnya, wabah COVID-19 yang pernah menyerang kita, terjadi karena adanya gangguan ekosistem dan rantai makanan. Hingga kemudian memunculkan dan menyebarkan virus baru dan berdampak sangat besar terhadap kehidupan manusia,” kata Mufti.

Berkaitan dengan peran orang muda, Life of Pachamama (organisasi bentukan sekelompok orang muda di Kolombia yang menjadi penyelenggara COP16 CBD, mengadakan sebuah program solidaritas di COP16 CBD. Organisasi itu mengungkapkan, kegiatan ini merupakan platform yang dinamis untuk mengintegrasikan pengalaman dan memobilisasi pemimpin muda dalam isu biodiversitas yang kritis. Mereka menekankan pentingnya partisipasi orang muda dari kawasan Global South dalam dialog tentang keadilan iklim dari wilayah dan komunitas mereka, sekaligus mendorong kerja sama dan solidaritas.

Jose Fernando Palacio (Co-leader COP16 Strategy) dan Juan David Amaya (Associate Director) dari Life of Pachamama menjelaskan, para delegasi muda Indonesia dipilih berdasarkan sejumlah pertimbangan. Misalnya, representasi yang adil diupayakan dari seluruh wilayah Indonesia, dengan perhatian khusus pada daerah yang paling terdampak oleh perubahan iklim dan titik-titik keanekaragaman hayati yang teridentifikasi.

Di samping itu, delegasi harus menunjukkan keterlibatan aktif dalam kelompok-kelompok keadilan iklim di tingkat lokal, nasional, atau internasional.

Jose dan Juan menegaskan, setiap delegasi memiliki peran penting di COP16.

Selain berpartisipasi dalam sejumlah panel utama, mereka juga akan memiliki ruang untuk berinteraksi langsung dengan para pengambil keputusan global. Hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa suara masyarakat dan wilayah yang paling terdampak dipertimbangkan dalam diskusi keanekaragaman hayati.

“Kami berharap para delegasi muda ini melihat diri mereka tidak hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai aktor transformatif. Semoga pengalaman ini akan memperkuat kapasitas mereka untuk memengaruhi kebijakan di masa depan, dan bahwa mereka akan kembali ke komunitas mereka dengan alat dan pengetahuan yang memungkinkan mereka untuk terus memperjuangkan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.”

Siapa 6 delegasi muda Indonesia yang akan ikut berjuang demi bumi? Berikut orangnya:

F. Deliana Winki, Pendiri dan pengajar Sekolah Adat Arus Kualan. Tantangan modern, seperti globalisasi, memunculkan risiko kehilangan identitas budaya. Anak-anak muda Dayak Simpang cenderung terpapar oleh pengaruh luar yang dapat merusak pengetahuan tradisional.

“Di Sekolah Adat Arus Kualan, semua orang bisa menjadi guru, dan alam raya adalah ruang kelas kami. Tidak ada dominasi, dan semua individu adalah sama. Sekolah ini bertujuan untuk menyatukan anak-anak Dayak, terutama untuk memungkinkan mereka kembali pada nilai-nilai adat, belajar pengetahuan tradisional dan kearifan lokal, menanamkan rasa identitas yang kuat pada generasi muda Dayak, dan menekankan pentingnya tumbuh sebagai orang Dayak di era modern,” kata Deli, yang pada 2014 mendirikan sekolah tersebut bersama perempuan adat lain bernama Plorentina Dessy Elma Thyana.

Andi Reza Zulkarnain, Co-chair Young People Action Team (YPAT) UNICEF East Asia and Pacific (EAPRO). Reza berpendapat, hak anak yang paling terabaikan adalah pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang merata, dan dampak perubahan iklim. Menurutnya, ketiga isu ini saling berhubungan dan sering kali menciptakan kondisi yang merugikan anak-anak. Kurangnya akses pendidikan, terhambatnya kesehatan, dan dampak buruk perubahan iklim bisa berpengaruh terhadap masa depan generasi mendatang.

“Dalam menangani isu-isu ini dibutuhkan pendekatan yang holistik. Saya percaya, solusi terbaiknya adalah melibatkan anak muda sebagai mitra yang setara dalam setiap proses pengambilan keputusan. Pendapat dan perspektif anak muda sering kali diabaikan, padahal kami adalah generasi yang akan merasakan dampak langsung dari keputusan-keputusan tersebut,” kata Reza.

Novita Ayu Matoneng Oilsana, Pendiri Komunitas BALENTA. Isu yang menjadi fokus kegiatan Komunitas BALENTA adalah pemenuhan hak anak, kesehatan reproduksi remaja, dan kesehatan mental. Mengapa? “Karena, anak-anak termasuk yang paling terdampak, ketika terjadi bencana. Oleh sebab itu, kami fokuskan untuk memberikan pendampingan psikososial dan trauma healing kepada anak-anak,” kata Novita.

Komunitas tersebut berawal saat Novita dan teman-temannya terlibat sebagai relawan untuk memberi pendampingan yang sama bagi anak-anak terdampak bencana siklon tropis Seroja selama sekitar 2 bulan. Ketika itu, mereka membuka donasi di akun media sosial dan juga mendistribusikan bantuan ke beberapa titik lokasi bencana, sambil bermain dan belajar bersama anak-anak di sana.

Salma Zakiyah, Program Officer MADANI Berkelanjutan. MADANI Berkelanjutan merupakan organisasi yang memelopori kolaborasi lintas sektor dan aktor untuk aksi penyelamatan iklim melalui perbaikan tata kelola sumber daya alam, terkhusus hutan dan lahan. Salma berpandangan, selama ini, pembahasan soal aksi mitigasi dan adaptasi selalu dilakukan secara terpisah. Seakan-akan upaya pengurangan emisi yang dilakukan secara besar-besaran bisa dipisahkan dari upaya menciptakan resiliensi masyarakat.

“Pandangan seperti ini sering kali semakin menyingkirkan masyarakat rentan dari diskusi terkait upaya penanggulangan krisis iklim dan justru meningkatkan kerentanan masyarakat rentan itu sendiri. Karena itu, MADANI bersama organisasi lain berusaha mengadvokasi pentingnya berangkat dari mengakomodasi kebutuhan spesifik masyarakat rentan terlebih dahulu, yang secara tidak langsung akan mengurangi emisi juga,” kata Salma.

Raja Mulkan Azhari, Campaigner Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA). Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) seluas 2,6 juta hektar di Sumatera, adalah tempat terakhir di dunia bagi empat spesies kunci (orang utan sumatera, harimau sumatera, gajah sumatera, dan badak sumatera) hidup berdampingan di alam liar. Sayangnya, keempat spesies ini sekarang diklasifikasikan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) sebagai Sangat Terancam Punah.

Leuser bukan hanya rumah bagi keanekaragaman hayati yang kaya, tetapi juga salah satu paru-paru dunia yang menjaga iklim global. KEL merupakan sumber kehidupan bagi 5 juta orang di Aceh dan Sumatera Utara, yang menyediakan air bersih dan udara segar. Kawasan ini bukan hanya aset nasional Indonesia, melainkan juga warisan dunia yang harus dilindungi.

Menurut Raja, KEL menghadapi berbagai ancaman besar, termasuk deforestasi, konsesi lahan, pertambangan, penebangan liar, perburuan dan perdagangan satwa liar, serta fragmentasi habitat. “Kami mendesak pemerintah melalui kerja-kerja kampanye dan advokasi agar mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kejahatan kehutanan dan satwa liar, serta meningkatkan upaya penegakan hukum yang efektif. Selain itu, kami meningkatkan kesadaran publik terkait pentingnya peran KEL dan Upaya perlindungan,” kata Raja.

Naomi Waisimon. Social Entrepreneur. Berawal dari Gerakan Menoken di wilayah adat Mamta, Kabupaten Jayapura, Naomi aktif dan belajar memahami pengembangan ekonomi berbasis masyarakat, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal. Sebuah filosofi diangkat dalam Gerakan Menoken, yakni filosofi noken, yang mengandung nilai kelenturan yang berarti fleksibilitas, kerahiman yang berarti kasih, serta kekerabatan. Gerakan Menoken memiliki tiga fokus kegiatan, yakni menanam, memulihkan tanah dan air, serta mengembangkan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).

Naomi berpendapat, masalah lingkungan akan muncul bersama dengan masalah ekonomi. Itulah kenapa gerakan menoken tak hanya berusaha mengembalikan kelestarian lingkungan, tetapi juga berupaya mengembangkan ekonomi masyarakat.

“Tuntutan ekonomi karena perkembangan zaman dan perubahan gaya hidup mengakibatkan bertambahnya kebutuhan ekonomi. Saat menjual hasil kebun atau hasil buruan tidak bisa menutup kebutuhan, maka tawaran konversi lahan dengan kompensasi tertentu akan dipilih oleh sebagian dari anggota komunitas adat.”  (bmz/*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top