Kondisi pegunungan di Kelurahan Buluri, Kota Palu yang menjadi area pertambangan Galian C. (Foto: BMZ/rindang.id)

Deforestasi Akibat Pertambangan di Sulteng dan Dampak Nyatanya Pada Krisis Iklim dan Bencana

PALU, rindang.ID | Perubahan hutan dan perubahan lingkungan akibat masifnya industri pertambangan berkontribusi signifikan pada kenaikan suhu dan bencana alam di Sulawesi Tengah.

Hingga tahun 2024 tercatat sebanyak 113 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel terbit di Sulawesi Tengah yang tersebar di empat kabupaten; Morowali, Morowali Utara, Banggai, dan Tojo Unauna. Ratusan IUP itu memakan lahan 259.847 hektare dan sebagian besar mengubah hutan jadi area pertambangan.

Perubahan hutan menjadi area pertambangan di Sulteng juga berakibat pada laju deforestasi. Data AURIGA menyebut periode tahun 2000 sampai 2022 sebanyak 72.955 hektare hutan di Sulteng hilang akibat pertambangan nikel.

Deforestasi Sulteng itu sejatinya lebih luas sebab selain industri nikel terdapat pula kontribusi industri pertambangan logam mineral lain seperti pertambangan emas dan batuan. Merujuk data Yayasan KOMIU hingga April 2024 terdapat 800 sebaran Izin Usaha dan IUP mineral logam di Sulteng.

Masifikasi industri pertambangan dan deforestasi diakui telah berdampak nyata pada terjadinya krisis iklim di Sulawesi Tengah.

Asep Firman Ilahi, Kepala Stasiun Pemantau Atmosfer Global Lore Lindu Bariri mengungkapkan imbas dari itu semua adalah munculnya residu industri seperti debu dan emisi karbon juga kenaikan suhu yang benar-benar telah terjadi.

Kota Palu dan sebagian besar daerah di Sulawesi Tengah kata Asep tercatat mengalami kenaikan suhu 1,1 derajat dari anomali rata-ratanya. Kenaikan suhu di Kota Palu bahkan pernah mencapai rekor tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya yakni 39,7 derajat dan diprakirakan masih akan terus muncul rekor kenaikan suhu.

“Yang paling dirasakan juga adalah menurunnya kualitas udara dan kerusakan lingkungan yang memperburuk dampak krisis iklim, selalu ada residu buruk akibat pembangunan termasuk industri pertambangan. Kami berharap kepedulian dan upaya pemerintah untuk mengembalikan kondisi lingkungan,” kata Asep.

Degradasi lingkungan juga disebut telah nyata terjadi akibat perambahan-perambahan hutan dan alih fungsi kawasan.

BPBD Sulteng menyebut dampak nyata degradasi lingkungan tampak dari data kebencanaan terutama banjir dan longsor yang meningkat dari tahun ke tahun yang dominan terjadi di sekitar daerah terjadinya perambahan.

“Sepanjang tahun 2023 misalnya tercatat terjadi 136 bencana, sedangkan tahun 2024 sejauh ini telah terjadi 200 kejadian,” Kepala Pelaksana BPBD Sulteng, Akris Fattah Yunus mengungkapkan.

Melindungi hutan yang tersisa dan mengembalikan fungsinya serta tutupan lahan menurut Asep dan Akris menjadi langkah penting mitigasi krisis iklim dan bencana.

Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan SK 869 tahun 2014 memiliki luas kawasan hutan 4.410.293,84 (4,4 juta) hektare atau 72,22 persen dari total luas daratan. Namun deforestasi masih menjadi ancaman nyata terus terjadi.

BPS mencatat tahun 2013 hingga 2022 saja angka deforestasi netto Sulteng seluas 68.281,5 hektare.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top