Kepala Unit Penunjang Akademik (UPA) Sumber Daya Hayati Sulawesi (SDHS) Universitas Tadulako (Untad), Dr Fadly Y Tantu menunjukkan Bantiluku yang ditangkarkannya di Herbarium Celebense, Untad, Selasa (23/7/2024). (Foto: rindang.ID/bmz)
Kepala Unit Penunjang Akademik (UPA) Sumber Daya Hayati Sulawesi (SDHS) Universitas Tadulako (Untad), Dr Fadly Y Tantu menunjukkan Bantiluku yang ditangkarkannya di Herbarium Celebense, Untad, Selasa (23/7/2024). (Foto: rindang.ID/bmz)

PALU, rindang.ID | Kura-kura Darat Sulawesi (Indotestudo Forstenii) atau dalam sebutan lokalnya ‘Bantiluku’ terancam mengalami kepunahan menyusul eksploitasi masif atas sumber daya alam di habitatnya di wilayah perbukitan Kota Palu.

Kepala Unit Penunjang Akademik (UPA) Sumber Daya Hayati Sulawesi (SDHS) Universitas Tadulako (Untad), Dr Fadly Y Tantu mengatakan, tidak diketahui pasti jumlah individu Bantiluku atau Baning Sulawesi yang tersisa saat ini karena belum pernah ada studi khusus untuk itu.

Namun yang pasti kata Fadly, populasinya semakin menurun antara lain diindikasikan dengan semakin sulitnya menemukan satwa endemik Sulawesi itu di habitatnya.

Bantiluku memiliki ukuran tubuh yang mungil. Saat dewasa, bobotnya mencapai 2,5 kilogram dengan Panjang 18-25 sentimeter. Cangkangnya memiliki kombinasi warna hitam dengan garis tebal kekuningan atau campuran karamel dengan bercak hitam.

Kura-kura Darat Sulawesi atau Baning Sulawesi atau Bantiluku (Indotestudo Forstenii). (Foto: rindang.ID/bmz)
Kura-kura Darat Sulawesi atau Baning Sulawesi atau Bantiluku (Indotestudo Forstenii). (Foto: rindang.ID/bmz)

Satwa ini termasuk golongan pemakan tumbuhan dan daging atau omnivora.  Makanan utamanya antara lain buah-buahan yang telah berguguran di tanah, dedaunan, kaktus, rumput, cacing, dan siput.

“Habitat Bantiluku ini di Kota Palu berada di daerah perbukitan, dulu banyak di perbukitan Poboya, Kawatuna, Mantikulore, dan beberapa daerah lainnya seperti di Sigi di wilayah Bora, Vatunonju, Oloboju, Pombewe dan juga di Lore. Tapi sekarang sudah sangat sulit menemukannya,” kata Fadly.

Survei yang dilakukan Progres Sulawesi pada 2020 lalu menemukan bahwa Bantiluku hidup di bukit-bukit curam di Lembah Palu, tepatnya di area sekitar aliran sungai kecil dengan vegetasi rapat dan juga pada area kering seperti vegetasi semak belukar.

Kura-kura itu juga hidup di area sungai dengan kadar oksigen tinggi. Kedalaman sungai juga tidak lebih dari 50 sentimeter.

Progres Sulawesi pun tidak bisa memastikan populasi Bantiluku saat ini. Saat disurvei pada April 2021 dengan transek sejauh  42,4 km di wilayah Lore, Pombewe, Sidondo, disebut tidak menemukan seekor pun. Itu juga dibenarkan warga di sekitar wilayah itu yang mengaku makin sulit dan nyaris tak pernah lagi melihat keberadaan Bantiluku.

Baik Dr Fadly maupun Progres Sulawesi, keduanya menyebut faktor utama yang jadi penyebab makin sulitnya ditemui hewan langka ini lantaran makin kehilangan habitat aslinya untuk bertahan hidup. Bantiluku bahkan di waktu lalu pernah menjadi komoditas perburuan ilegal untuk keperluan dipelihara atau dikonsumsi.

Selain itu, dijadikan sebagai hewan peliharaan juga menjadi ancaman baginya. Sebuah Lembaga pemerhati lingkungan bahkan menyebut, di tahun 1990-an silam, tak terhitung Bantiluku yang dikirim ke Cina sebagai bahan makanan dan untuk keperluan pengobatan.

Kura-kura Darat Sulawesi atau Baning Sulawesi atau Bantiluku (Indotestudo Forstenii). (Foto: rindang.ID/bmz)
Kura-kura Darat Sulawesi atau Baning Sulawesi atau Bantiluku (Indotestudo Forstenii). (Foto: rindang.ID/bmz)

Kura-kura ini termasuk dalam kategori terancam dengan level kritis (Critically Endangered) atau terancam punah pada Uni Internasional untuk Konservasi Alam atau IUCN dan appendiks II pada CITES. Bahkan The Turtle Conservation Coalition yang merupakan koalisi berbagai lembaga konservasi hewan memasukkan Bantiluku ini dalam daftar 25 Kura-kura paling langka dan terancam punah di dunia.

Fadly mencemaskan aktvitas massif pertambangan emas di wilayah Poboya yang menjadi salah satu habitat Bantiluku itu.

“Contohnya di Poboya, di mana kita tahu di sana itu ada pertambangan emas. Jika eksploitasi itu dilakukan terus menerus, bukan tidak mungkin Bantiluku khas Palu ini hanya menyisakan kenangan atau cerita-cerita bahwa pernah ada Bantiluku di situ. Saat ini saja kita sudah sangat sulit menemukannya,” kata Fadly di Herbarium Celebense and Museum Zoologicum Celebense Untad, Selasa (23/7/2024).

Ia berharap, sebelum Bantiluku yang kerap dijadikan sebagai plesetan untuk kondisi keadaan ‘lamban bergerak’ atau ‘diam-diam tapi ada maksud tersembunyi’ itu benar-benar punah, ada kesempatan untuk melakukan konservasi.

“Kasihan anak-anak kita di masa mendatang, mereka hanya bisa mendengar cerita tentang Bantiluku, tapi tak pernah melihatnya,” imbuh Fadly.

Terkhusus langkah konservasi Bantiluku itu, Fadly mengaku telah memulainya meskipun dengan kondisi terbatas. Fadly melalui projectnya telah berhasil melakukan breeding atau pembiakan pada sepasang bantiluku itu.

Meski begitu, ia merasa tidak puas karena hanya menyangkut individu-individu Bantiluku. Ia menginginkan pengembangbiakan bantiluku itu dapat dilakukan lebih terprogram dan menyangkut individu yang lebih banyak lagi. (bmz)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *