RINDANG, PALU | Momen Hari Anak Nasional yang jatuh saban 23 Juli didorong untuk juga jadi momen menguatkan pendidikan atau literasi lingkungan bagi anak.
Perubahan iklim sudah benar-benar dirasakan dan menjadi perhatian publik. Kondisi iklim hari ini tidak datang ujuk-ujuk, ada kontribusi generasi sebelum-sebelumnya.
Mereka yang hidup hari ini dan merasakan langsung dampak perubahan iklim yang nyata memimpikan kondisi lingkungan yang lebih baik di masa depan. Dan harus diakui anak-anak menjadi kunci perubahan itu.
Pegiat literasi Kota Palu, Neni Muhidin menyebut Hari Anak Nasional bisa menjadi momentum yang tepat untuk semua pihak meningkatkan pengetahuan dan pemahaman anak terhadap lingkungan.
Pendidikan lingkungan bagi anak di Sulawesi Tengah kata Neni terasa mendesak jika dikaitkan dengan kondisi lingkungan saat ini yang makin terancam pertambangan.
Perspektif lingkungan yang terbangun pada anak hari ini akan menjadi harapan pembangunan daerah yang peduli terhadap lingkungan dan berkelanjutan di masa depan.
Neni menyebut meningkatkan literasi lingkungan bagi anak itu menjadi tugas penting pengelola pendidikan termasuk sekolah.
“Isu lingkungan ada dalam literasi dasar sains. Sekolah harus punya cara belajar yang kreatif untuk merangsang kuriositas dan rasa penasaran murid, utamanya usia dini, mengalami langsung alam dan motorik dengan menanam,” kata Neni.
Mengapa harus menanam? Menanam bisa menjadi cara yang paling sederhana dalam upaya membangun kesadaran kepedulian lingkungan bagi anak.
Dengan menanam anak bisa dilatih bertanggungjawab dan memahami fungsi tanaman atau pohon secara nyata untuk melindungi dirinya dari kondisi iklim yang berubah, seperti pemanasan global.
“Menanam itu menumbuhkan rasa memiliki anak pada yang dia tanam, menghubungkan secara emosional dengan alam,” Neni memungkasi.