SIGI, rindang.ID | Pola pertanian berkelanjutan menjadi salah satu pilar penting memastikan hutan di Sigi tetap lestari.
Kabupaten Sigi memang unik dibanding daerah lain di Sulawesi Tengah. Dari total luas Kabupaten Sigi 5.196,02 km persegi ada lebih dari 75 persen kawasan hutan, baik hutan lindung maupun konservasi dan hanya sekitar 25 persen kawasan yang bisa difungsikan untuk permukiman, pertanian, dan perkebunan.
Alih-alih membabat hutan, Kabupaten yang mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Lestari ini punya sejumlah kebijakan agar kawasan-kawasan lindung tidak rusak namun aktivitas ekonomi masyarakat sekitar bisa tetap berjalan melalui pertanian dan perkebunan, sumber ekonomi mayoritas warga.
Perda Sigi Hijau
Perda Nomor 4 tentang Sigi Hijau ini terbit pada Agustus tahun 2019 dan menjadi aturan fundamental yang memastikan arah pembangunan lestari daerah ini. Peraturan itu lalu diterjemahkan menjadi aksi melalui Program Sigi Hijau termasuk disektor pertanian dan perkebunan.
Perda ini memiliki beberapa poin penting yang berkaitan dengan pertanian dan perkebunan, yang bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Sigi.
Keserasian peruntukan ruang wilayah ke dalam kawasan lindung dan kawasan budidaya, dengan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) menjadi tujuan perda ini. Kawasan budidaya dapat diperuntukkan bagi hutan produksi dan pertanian.
Mendorong pertanian yang berkelanjutan juga menjadi semangat perda ini. Pemda dapat melaksanakan kegiatan pemulihan ekosistem dan mengembangkan pertanian berkelanjutan di kawasan budidaya.
Pengembangan pertanian berkelanjutan dilakukan dengan meningkatkan kapasitas petani, memperkenalkan penerapan teknologi pertanian organik, serta membuka akses pasar produk pertanian organik.
Perda ini mencakup upaya integrasi pertanian dan penghijauan dengan kegiatan penanaman pohon di berbagai tempat dengan jenis pohon pelindung, produktif, dan khas lokal.
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, memanfaatkan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukan ruang, melaksanakan kegiatan pembangunan tanpa izin di kawasan hijau, dan merusak sarana dan prasarana pengelolaan lingkungan.
Peluang kerja sama atau kolaborasi juga terbuka untuk pelaksanaan kebijakan Sigi Hijau dengan pemerintah desa, masyarakat, dan/atau pihak lainnya.
Perda ini memastikan aspek berkelanjutan mendasari pembangunan di Sigi.
Agroforestri dan Polikultur
Di Sigi konsep polikultur dan agroforestri turus didorong untuk memastikan kegiatan usaha pertanian ramah lingkungan. Pola ini mencakup penanaman berbagai jenis tanaman secara bersamaan, seperti kakao dengan durian atau tanaman pangan lainnya, untuk meningkatkan pendapatan petani dan menjaga kelestarian lingkungan.
Agroforestri ini juga disokong oleh Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang melaksanakan program itu di 20 kelompok yang tersebar di 6 klaster di Poso dan Sigi.
Kegiatan yang dilakukan meliputi penanaman kayu-kayuan dan peningkatan kapasitas kelompok. Program ini dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan hutan, dengan tujuan untuk menjaga hutan dan memberikan alternatif penghasilan bagi masyarakat.
Masyarakat di APL (Areal Penggunaan Lain) didorong untuk melakukan penanaman tanaman, terutama kayu-kayuan, sebagai benteng pertahanan agar tidak terlalu banyak memanfaatkan hutan.
Polikultur juga menjadi cara bertani dan berkebun yang terus didorong. Petani tidak hanya menanam satu jenis tanaman, tetapi juga mengombinasikannya dengan tanaman lain yang saling menguntungkan atau penggabungan tanaman jangka panjang dan jangka pendek.
“Petugas penyuluh perkebunan juga mendampingi petani dalam kegiatan mereka. Pendampingan ini mencakup pemberian informasi dan pelatihan mengenai teknik polikultur dan agroforestri yang tepat,” Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Sigi, Rahmat Iqbal mengatakan.
Rahmat mengakui pendekatan agroforestri dan polikultur memang belum sepenuhnya diterapkan oleh petani di Sigi, namun dua cara itu terus didorong dan menjadi komitmen pihaknya demi mewujudkan pertanian yang berkelanjutan.
Sertifikasi Kebun dan Pertanian Lestari
Sertifikasi kebun adalah proses memverifikasi kebun-kebun petani untuk memastikan bahwa lahan pertanian tidak mengganggu atau masuk dalam kawasan hutan. Sertifikasi ini menghasilkan STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya).
Verifikasi kebun-kebun petani meliputi identitas petani yang jelas, lahan pertanian yang jelas, dan pengelola kegiatan perkebunan yang jelas.
Cara ini memastikan bahwa produk pertanian memenuhi syarat dari Uni Eropa terkait dengan regulasi deforestation free, yaitu produk pertanian yang tidak berasal dari kawasan hutan.
Dengan memiliki STDB, kebun petani terverifikasi dan terdata, sehingga memudahkan pemerintah dalam memberikan dukungan dan pembinaan.
Pemerintah Kabupaten Sigi mulai melakukan sertifikasi kebun sejak tahun 2024.
Hingga saat ini sudah diterbitkan lebih dari 500 STDB untuk kebun-kebun petani dan akan terus dilakukan.
“Sertifikasi kebun ini menjadi penting karena regulasi dari Uni Eropa yang hanya mau membeli produk pertanian yang tidak termasuk dalam kawasan hutan,” Rahmat mengungkapkan.