Seruan Hijau di Tengah Suhu Panas Kota Palu, Kebijakan hingga Tindakan
Di tengah udara yang kering dan terik, pertanyaan besar muncul, ke mana arah kota ini akan bertumbuh; semakin panas, atau semakin hijau?
Di tengah udara yang kering dan terik, pertanyaan besar muncul, ke mana arah kota ini akan bertumbuh; semakin panas, atau semakin hijau?
Membangun resiliensi Kota Palu tak hanya soal memperkuat infrastruktur atau menata kembali ruang kota. Lebih dari itu, ketangguhan juga tumbuh dari bagaimana warga, terutama generasi muda menjadi bagian dari perubahan; berani bersuara, menulis, dan merekam kisah mereka sendiri.
Kota Palu kini menghadapi dua ancaman lingkungan yang saling terkait. Dalam setahun terakhir, kualitas tutupan lahan turun drastis, sementara tren kenaikan suhu terus terjadi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ruang hijau bukan lagi pelengkap kota, melainkan penentu masa depan ekologisnya.
Hingga tahun 2023 tercatat terdapat empat daerah di Sulawesi Tengah yang pernah mengalami rekor kenaikan suhu. Perubahan iklim yang menuju krisis, nyata.
Pengukuran kualitas udara yang dilakukan Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Lore Lindu Bariri pada Sabtu (11/10/2025) mencatat, kadar PM10 sebesar 65 µg/m³ atau dalam kategori “Sedang”, sedangkan nilai PM2.5 tercatat mencapai 67 µg/m³ atau masuk kategori “Tidak Sehat”.
Kesadaran kolektif ini muncul di tengah situasi yang mendesak. Timbulan sampah plastik sekali pakai di Kota Palu berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu terbilang besar bahkan mencapai 10 persen dari total timbulan sampah harian yang mencapai sekitar 150 ton.
Harga beras di sejumlah pasar tradisional terpantau turun setelah langkah masif ini digencarkan oleh Perum Bulog Kantor Wilayah Sulawesi Tengah bersama pemerintah daerah.
Mosinggani dan Duyu Bangkit adalah dua kisah kecil dari ribuan cerita pascabencana Palu. Namun kisah mereka menegaskan satu hal: dari reruntuhan bisa tumbuh kekuatan baru, bahkan dari puing-puing yang paling hancur sekalipun.
Membicarakan Kota Palu yang akan berulang tahun pada 27 September, pada dasarnya adalah membicarakan lanskap yang membentuknya; Sungai dan sesar, dua elemen besar yang menentukan eksistensi kota ini tak bisa dipisahkan dari sejarah, budaya, dan bahkan identitas masyarakatnya.
Program bantuan ini berjalan seperti biasa, namun terdapat beberapa perubahan prosedur administratif dibandingkan periode sebelumnya. Protokol baru ini meski tidak menghambat distribusi fisik, menyebabkan proses akhir (dokumentasi) memakan waktu lebih.