RINDANG | Laut di Selandia Baru mencatat rekor suhu tertinggi yang melampaui rata-rata suhu global. The Guardian pada Rabu (10/7/2024) memberitakan, peristiwan itu memicu kekuatiran atas kesehatan, kehidupan dan ekosistem laut di wilayah tersebut.
Stats New Zealand dalam datanya menunjukkan, sejak tahun 1982, suhu permukaan laut negara itu meningkat rata-rata antara 0,16 sampai 0,26 derajat celsius tiap 10 tahun. Sedangkan suhu di perairan pesisir meningkat antara 0,19 sampai 0,34 derajat celsius setiap 10 tahun.
Ilmuwan di National Institute for Water and Atmospherics Matt Pinkerton mengataka, laju pemanasan permukaan laut di sekitar Selandia Baru juga dua kali lipat melampaui rata-rata global setiap sebesar 0,18 celsius. Bahkan di satu wilayah yakni Chatham Rise, suhu meningkat tiga kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata global.
Selandia Baru bisa jadi mengalami peningkatan suhu yang lebih tinggi karena posisi geografisnya serta gerakan arus laut global yang membawa panas.
“Selandia Baru terletak di antara Pasifik, Laut Tasman, dan Samudra Selatan. Terjadi banyak pemanasan yang terjadi di ketiga wilayah tersebut, sehingga kita menerima panas dari segala arah,” ujar Pinkerton.
Pinkerton mengatakan, suhu tinggi di Selandia Baru menghilangkan dugaan bahwa negara kepulauan itu relatif aman dari suhu ekstrem.
“Karena kita dikelilingi oleh begitu banyak lautan, kami (menduga) sedikit terlindungi oleh efek pemanasan. (Data) ini mengatakan bahwa hal itu tidak benar,” ucap Pinkerton.
Gelombang panas laut juga mencapai tingkat yang baru di Selandia Baru. Pulau Utara Bagian Barat Selandia Baru mengalami kondisi gelombang panas selama 89 persen sepanjang periode 2022, yang merupakan tertinggi di antara wilayah pesisir.
“Bahkan kenaikan suhu sekecil apa pun dapat mengganggu ekosistem laut, menyebabkan relokasi beberapa spesies, dan meningkatkan risiko penyakit,” kata Stuart Jones, manajer statistik lingkungan dan pertanian Stats NZ.
Gelombang panas laut yang hebat sebelumnya telah dikaitkan dengan pemutihan spons laut secara massal di Selandia Baru, matinya rumput laut banteng di selatan, terdamparnya ikan dalam skala besar, dan kematian penguin.
“Gelombang panas laut yang intens dapat menyebabkan perubahan ekologi skala besar dengan membunuh spesies pembentuk habitat seperti rumput laut,” kata Christopher Cornwall, dosen biologi kelautan di Victoria University of Wellington.
Dia menambahkan, sangat mungkin pemanasan dan gelombang panas laut yang lebih sering, intens, dan lebih lama telah menyebabkan perubahan permanen pada ekosistem laut di Aotearoa.
Baik Cornwall maupun Pinkerton, sejauh mana pemanasan laut akan mengganggu ekosistem masih kurang dipahami. Sementara itu, pemantauan jangka panjang diperlukan untuk mengantisipasi dan merencanakan perubahan, terutama ketika menilai kuota penangkapan ikan. (bmz/*)