RINDANG | Mayoritas rumah tangga di Indonesia rupanya masih menggunakan cara membakar untuk mengatasi sampah mereka. Padahal cara itu berbahaya bagi lingkungan maupun kesehatan.
Survei Kemenkes tahun 2023 menunjukkan proporsi rumah tangga yang membakar sampah mencapai 57,2 persen atau paling tinggi di antara 9 cara penanganan sampah dalam surveri tersebut.
Sebanyak 27,6 persen rumah tangga koresponden menyerahkan urusan sampahnya kepada petugas, sebanyak 8,7 persen membuang sendiri ke TPS, 2,8 persen membuang ke kali, 2,3 persen membuang di tempat sembarangan, dan 0,7 persen ditimbun.
Sedangkan proporsi rumah tangga yang menggunakan cara ramah lingkungan terbilang rendah, yakni hanya 0,3 persen dibuat kompos, 0,3 persen setor ke bank sampah, dan hanya 0,1 persen yang mendaur ulang.
Bahaya Bakar Sampah
Yang paling tampak dari pembakaran sampah adalah asap yang mencemari udara. Asap itu mengandung bahan kimia beracun terutama hasil pembakaran plastik dan kayu yang dicat.
Celakanya residu dari pembakaran dapat mencemari tanah dan air tanah. Bahkan dapat masuk ke rantai makanan manusia melalui hewan ternak dan tanaman.
Bahan kimia paling berbahaya yang keluar saat pembakaran adalah dioksin yang berasal dari plastik. Dioksin terbentuk saat produk mengandung klorin terbakar. Sementara pembakaran sampah kayu atau daun menghasilkan asap mengandung uap dan partikel berbahaya.
Bahkan WHO, polusi udara akibat pembakaran bahan padat seperti kayu telah mengakibatkan setidaknya 3,20 juta orang meninggal dunia di usia muda.
Lantaran itu pula KLHK mengeluarkan aturan yang mencegah pengelolaan sampah dengan dibakar. Di antaranya UU No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Dalam Pasal 29 ayat 1 butir g berbunyi, setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Lalu pada Pasal 12 ayat 1 disebutkan, setiap orang berkewajiban mengelola sampah rumah tangga harus dengan cara yang berwawasan lingkungan.