Kondisi permukiman di Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu setelah diterjang banjir, Jumat (25/4/2025). (Foto: BPBD Sulteng)

Hujan 5 Jam, Banjir Sporadis, dan Alarm Kritis dari Daerah Tangkapan Air Kota Palu

PALU, rindang.ID | Hanya butuh hujan lima jam untuk Kota Palu didatangi banjir sporadis yang membawa lumpur juga batu yang merusak. Di balik itu, ada pesan keras dari alam; bukit dan gunung tempat air hujan seharusnya tertahan, kini telanjang dan rusak.

Hanya 5 jam sejak sekitar pukul 14.00 Wita hujan lebat yang turun cukup untuk memicu banjir datang secara sporadis di sejumlah titik di Kota Palu, Jumat (25/4/2025).

BPBD mencatat Jalan RE Martadinata, Sukarno Hatta, permukiman Tombolotutu, permukiman Kabonena, dan Silae menjadi wilayah yang terdampak paling parah. UGD RSUD Undata tergenang dan tembok bagian belakang Polda Sulteng ambruk tak mampu menahan erosi tanah perbukitan. Sekali lagi hanya sekitar 5 jam hujan mengguyur.

Lalu mengapa hujan singkat itu mampu datang dengan daya rusak sebegitu parah di Kota Palu?

Jika merefleksi kejadian banjir yang terjadi selama ini di Kota Palu yang sebagian besar datang dari bukit maupun gunung di timur dan barat Kota Palu, jelas mengindikasikan pentingnya intervensi segera terhadap daerah tangkapan air dan sub-sub Daerah Aliran Sungai (DAS)-nya.

Andy Sembiring, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sulawesi Tengah mengatakan, Adanya aliran air dan sedimen yang tidak terkendali dari daerah yang lebih tinggi ke area pemukiman di bawah saat terjadi curah hujan tinggi adalah indikasi jelas bagaimana daerah tangkapan air sangat berpengaruh.

Kawasan pertambangan emas di Poboya, pegunungan bagian timur Kota Palu. (Foto: Heri/ rindang.ID)

Andi tidak menampik industri pertambangan di sekitar daerah-daerah tangkapan air turut memengaruhi banjir yang terjadi. Karenanya ia menegaskan pentingnya menagih tanggung jawab industri pertambangan dalam pengelolaan sumber daya air di sekitar kawasannya.

“Sejauh ini, hal ini yang belum tampak dari industri pertambangan. Ini tugas multipihak, bukan hanya BPBD,” Andi menegaskan.

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu-Poso mencatat tahun 2022 saja di Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya, daerah yang juga jadi daerah tangkapan air di timur Kota Palu terdapat 406,10 hektare lahan sudah berstatus sangat kritis dan 70,90 hektare berstatus kritis. Hanya sekitar 444,17 hektare lahan yang tercatat masih dalam kondisi baik.

Poboya sendiri adalah daerah perbukitan di timur Kota Palu yang masif menjadi lokasi penambangan emas baik oleh perusahaan resmi maupun penambang ilegal.

Itu di bagian timur. Bagaimana dengan daerah tangkapan air, bukit maupun gunung di bagian barat Kota Palu?

Sama mengkhawatirkannya. Merujuk data Minerba One Map Indonesia (MOMI) Kementerian ESDM, pascaterbitnya UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) terjadi peningkatan signifikan penerbitan izin dan luas lahan pertambangan komoditas pasir, batu, dan kerikil (sirtukil) termasuk di Kota Palu dengan total jumlah izin tercatat 34 dengan luasan lahan 556.66 hektare.

Ancaman Bisa Makin Buruk, DTA Butuh Penanganan Segera

Di masa yang akan datang, kontur kota Palu yang berada di dataran rendah yang diapit oleh Dua Bukit di timur dan barat, sangat berpotensi terjadinya bencana alam banjir bandang akibat limpasan air tanah yang tidak tertahan akibat rusaknya tutupan vegetasi hutan-hutan di kedua gunung tersebut.

Kondisi pegunungan di Kelurahan Buluri, Kota Palu yang menjadi area pertambangan Galian C. (Foto: BMZ/rindang.id)
Kondisi pegunungan di Kelurahan Buluri, Kota Palu yang menjadi area pertambangan Galian C. (Foto: BMZ/rindang.id)

“Menurut proyeksi BMKG, dampak dari perubahan iklim di Kota Palu adalah naiknya suhu permukaan dan makin seringnya frekuensi kejadian cuaca ekstrim dengan curah hujan diatas 150 mm/hari,” Kepala Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Lore Lindu Bariri, Asep Firman Ilahi mengungkapkan.

Asep mengingatkan hutan dan vegetasi di atas Kota Palu berperan penting dalam menjaga siklus air di permukaan.

Dalam siklus hidrorologi, air yang diturunkan menjalani beberapa fase sebelum kembali ke lautan. Vegetasi hutan akan menyerap berapun jumlah hujan yang diturunkan, dari hujan rendah hingga hujan lebat sekalipun.

Apa Itu Daerah Tangkapan Air dan Fungsinya?

Daerah Tangkapan Air (DTA) sendiri adalah wilayah daratan tempat air hujan jatuh dan mengalir menuju satu titik tertentu, seperti sungai, danau, atau waduk.

Ciri-ciri DTA di antaranya adalah topografi cekungan atau miring, banyak aliran air kecil (anak sungai) yang menyatu ke satu sungai utama, serta vegetasi alami; biasanya ada hutan, semak, padang rumput, atau lahan pertanian yang membantu menyerap air.

Lanskap Kota Palu tampak dari pegunungan Bulu Riapu, Kelurahan Kawatuna. (Foto: Syahrul)

Vegetasi hutan yang masih terawat dan alami membuat hujan dapat disimpan akar pohon dalam tanah dan dilepaskan secara gradual menjadi limpasan air tanah, dan mengalir melalui anak-anak sungai dan kembali ke lautan. Erosi juga bisa diminimalisasi oleh fungsi akar pohon.

“Ketika vegetasi hutan dirusak atau berubah fungsi (land use change) menjadi hutan produksi, areal pertambangan atau pembalakan liar, maka keseimbangan hidrologi terganggu. Pun ketika tutupan lahan ditutupi oleh aspal dan beton, maka siklus hidrologi (menyebabkan banjir) di perkotaan menjadi singkat, diperparah dengan sistem tata ruang buruk,” kata Asep.

Karenanya, menjaga kelestarian hutan dan menata sistem tata ruang kota yang asri penting dilakukan agar bencana hidrometeorologi bisa diperkecil di tengah seringnya cuaca ekstrim akibat perubahan iklim ini.

Jangan ada lagi pohon yang ditebang sembarangan, ekspolitasi lahan berlebihan, dan tata kota yang serampangan tanpa pendekatan ekologi karena satu pohon bisa menahan ribuan liter air hujan, satu hutan bisa menyelematkan kota dari bencana.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top