POSO, RINDANG | Sebagai salah satu danau purba, Danau Poso juga merupakan habitat aneka fauna endemik, termasuk spesies ikan. Kelestarian kekayaan alam itu juga karena kearifan lokal masyarakat Pamona yang mempertahankan cara dan alat tangkap tradisional.

Danau Poso, danau tektonik air tawar yang terbentuk jutaan tahun yang lalu, terkenal sebagai salah satu danau purba di Indonesia yang menjadi habitat fauna endemik termasuk spesies ikan.

Danau yang memiliki luas 323 km2 dan kedalaman maksimum sekitar 450 m itu merupakan bentuk isolasi geologis, geografis, dan ekologis. Kondisi itu membuat evolusi biota akuatik yang unik di Danau Poso. Fauna endemik meliputi beberapa spesies ikan Rono termasuk Adrianichthys kruyti, A. oophorus, A. poptae, A. roseni, Oryzias nebulosus, O. nigrimas, dan O. orthognathus. Kemudian ikan Bungu dan Bungu Masiwu Mugilogobius amadi dan M. sarasinorum. Juga Ikan Anasa Nomorhamphus celebensis

Dalam beberapa dekade terakhir, kelimpahan populasi ikan endemik telah menurun, karena ancaman yang sama dengan yang dihadapi oleh ikan di banyak danau lain seperti eutrofikasi, penangkapan ikan secara intensif dan invasi spesies introduksi. Salah satu ikan endemik yang terkena dampaknya adalah A. 

Roseni, ikan ini dikoleksi pada bulan September 1978, namun hingga saat ini belum ada laporan lebih lanjut. Selain itu, status ikan gobi Sarasin M. sarasinorum dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List berubah dari Rentan menjadi Genting pada tahun 2019. Ikan goby ini diketahui diperdagangkan sebagai ikan hias meskipun dampak dari perdagangan ini belum dikuantifikasi. Ikan gobi Sarasin juga dikenal dikenal sebagai Black Toradja’s Goby dalam perdagangan ikan hias, di daerah sekitar habitat aslinya (endemik) Danau Poso, ikan ini dikenal dan dijual di pasar lokal sebagai Bungu Masiwu.

Jantan dewasa Bungu Masiwu (M. sarasinorum) dalam kondisi berkembang biak tampak berwarna coklat tua hingga hitam pekat, sedangkan betina berwarna lebih pucat dan mempertahankan warna kecoklatan dengan sedikit bintik-bintik. Bungu Masiwu adalah ikan yang hidup di dasar yang berukuran sedang yang biasanya ditemukan di daerah berbatu dan berpasir, cenderung aktif di daerah dangkal di malam hari tetapi jarang terlihat di siang hari.

Pada tahun 2013, Danau Poso dinilai sebagai Key Biodiversity Area (KBA) oleh Burung Indonesia dan Perencanaan Konservasi Partisipatif telah dilakukan di 4 desa (Meko, Salukaia, Owini, dan Uranosari) sejak tahun 2017. Jelaslah bahwa konservasi ikan endemik di Danau Poso adalah penting, termasuk melalui penanganan ancaman yang teridentifikasi seperti polusi dan masuknya spesies invasif yang tidak asli (asing). Upaya konservasi telah dilaksanakan di daerah tersebut, termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengurangi penggunaan herbisida dan pestisida di daerah aliran sungai di sekitarnya. 

Sehubungan dengan intensitas penangkapan ikan dan keberlanjutan, masyarakat suku Pamona telah menggunakan kearifan tradisional yang dapat dianggap sebagai upaya konservasi sejak dulu, dengan menggunakan perangkap tradisional yang dikenal dengan sebutan Inanco atau Nanco.

Dua warga Pamona memeriksa hasil tangkapan ikan di Inanco yang mereka pasang. (Foto: Kurniawan)

Suku Pamona merupakan salah satu masyarakat adat di daerah Poso yang dikenal memiliki banyak kearifan lokal. Penggunaan perangkap ikan ini yang secara khusus digunakan untuk menangkap ikan Bungu dan Bungu Masiwu dianggap ramah lingkungan. 

Pada tahun 2020 Kurniawan Bandjolu, seorang peneliti ekosistem Danau Poso bersama rekan-rekannya melakukan penelitian untuk mendeskripsikan alat tangkap Inanco dan mengevaluasi komposisi hasil tangkapan. Penelitian dilakukan di Sungai Desa Bo’e (inlet Danau Poso), Sulawesi Tengah. Pengambilan sampel dilakukan beberapa kali dalam satu hari. Penelitian ini menggunakan delapan Inanco yang ditempatkan secara terpisah dengan jarak yang berjauhan. Setiap Inanco ditempatkan dekat tepi muara sungai Danau Poso pada kedalaman sekitar 33 cm.

Suku Pamona adalah suku asli yang tinggal di daerah sekitar Danau Poso. Mereka telah mengembangkan dan mempertahankan kearifan lokal yang beragam, termasuk penggunaan tanaman lokal dalam pengobatan tradisional. Selain itu, suku Pamona ini terkenal dengan upacara tradisional yang dikenal sebagai ‘Padungku’. Padungku adalah upacara panen sebagai ucapan syukur. Untuk mempersiapkan upacara tersebut, masyarakat biasanya mengolah padi dan juga menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap tradisional seperti Inanco.

Ikan Bungu dan Bungu Masiwu ditangkap sebagai ikan konsumsi yang populer selama musim hujan, yang terdiri dari musim pancaroba dan musim timur (Maret hingga Agustus) tetapi tidak pada musim kemarau karena sungai-sungai mengering. Namun berdasarkan penelitian saat ini hanya terdapat M. sarasinorum karena M. amadi sudah tidak pernah tertangkap lagi sejak tahun 1987 di Danau Poso.

Papa Monge dan Mama Monge misalnya, mereka memasang Inanco pada sore hari lalu kemudian mengumpulkan hasil tangkapan pada keesokan harinya. Meskipun secara umum ikan dikumpulkan setiap pagi dan sore hari, hasil tangkapan terbaik lebih sering diperoleh pada pagi hari, mengingat M. sarasinorum lebih banyak beraktivitas di malam hari. Inanco biasanya ditempatkan di area yang tidak teduh di mana sinar matahari dapat menembus dasar sungai hingga kedalaman 3-5 meter. Setiap Inanco terbuat dari daun aren (Arenga pinnata) yang diletakkan secara horizontal dengan rusuk-rusuknya sejajar dengan arah aliran air di bagian sungai yang mengalir lambat. Satu unit Inanco terbuat dari 20 lembar daun aren yang dipotong menjadi beberapa bagian. Bagian tengah daun diikat menggunakan potongan rotan Calamus minahassae (nama Indonesia rotan tikus atau rotan patani).

Alat tangkap ikan tradisional masyarakat Pamona, Inanco yang terpasang di sungai sekitar Danau Poso. (Foto: Kurniawan).

Setiap unit Inanco berukuran kurang dari satu meter dan memiliki penampang melintang sekitar 20 cm × 20 cm. Inanco dibebani dengan batu-batu bundar, sehingga tidak akan hanyut. Ikan-ikan kemudian tertarik ke perangkap dan bersembunyi di dedaunan sebagai tempat berlindung. Nelayan akan memanen ikan untuk konsumsi rumah tangga dengan memasukkan jaring di ujung bawah Inanco, sehingga ketika pemberat dilepas, jaring dapat digerakkan ke arah ujung atas saat Inanco  terangkat ke atas. Ikan yang bersembunyi di dalam Inanco kemudian akan masuk sepenuhnya ke dalam jaring. Efeknya, Inanco berfungsi mirip dengan perangkap ikan dari bambu yang disebut bubu. Telah diusulkan bahwa Inanco dapat digunakan sebagai model alat tangkap modern yang ramah lingkungan yang dapat diadopsi untuk tujuan konservasi melalui pengembangan kearifan lokal.

Bungu Masiwu sebagian besar dapat ditemukan di daerah terbuka di atas lumpur dan kerikil dengan beberapa tanaman air, tetapi juga di lereng kerikil yang curam dan di antara batu kapur. Pada penelitian itu, hanya ditemukan Inanco yang digunakan di Desa Bo’e. Berdasarkan Larson (2001) studi isi perut, kebiasaan makan M. sarasinorum adalah karnivora dengan mangsa yang didominasi oleh ikan-ikan kecil dan larva serangga. Inanco sangat selektif, yang berarti tidak mungkin menjadi ancaman terhadap ikan-ikan non-target di Danau Poso. Hal ini penting untuk konservasi ikan asli lainnya yang hidup di danau, terutama spesies endemik lainnya dalam kategori terancam punah dalam Daftar Merah IUCN. 

Ikan Ikan Bungu dan Bungu Masiwu, salah satu ikan endemik Danau Poso. (Foto: Kurniawan).

Inanco dapat dianggap sebagai pendekatan alat tangkap berkelanjutan untuk pemanfaatan Bungu Masiwu karena beberapa alasan,” kata Kurniawan Bandjolu.

Pertama, Inanco yang digunakan mudah didapat dan bahannya tersedia di alam, bahan terbarukan dan tidak menimbulkan polusi serta tidak merusak habitat. Kedua, ikan ditangkap dalam keadaan hidup dan dalam kondisi yang baik, sehingga berpotensi memungkinkan selektivitas lebih lanjut seperti pelepasan anakan atau ikan yang sedang berkembang biak.

Selain itu, Inanco juga dapat digunakan untuk membantu menjaga populasi Bungu Masiwu dan ikan lainnya. Struktur Inanco dapat ditempatkan untuk memberikan perlindungan habitat, sehingga meningkatkan kelimpahan Bungu Masiwu (M. sarasinorum), hal ini menunjukkan harapan untuk perikanan M. sarasinorum yang berkelanjutan, dengan beberapa modifikasi juga dapat digunakan untuk mendukung konservasi spesies yang terancam punah di Danau Poso.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *