PALU, rindang.ID | Alih-alih terus terpuruk, menyintasi gempa dan tsunami Palu yang menghancurkan permukiman tahun 2018 lalu justru membangkitkan kesadaran kelompok perempuan di Kelurahan Mamboro, Kota Palu untuk membangun ketangguhan permukiman mereka.
“Rumah saya dulu di sini, kurang dari seratus meter dari bibir pantai. Makanya waktu tsunami habis rumah kami,” Emilia (41 th) menunjuk sebuah tanah kosong yang dikelilingi puing sisa bangunan tepat disisi jalan raya, Kelurahan Mamboro Barat.

Emilia penyintas gempa dan tsunami Palu tahun 2018 yang kehilangan huniannya di kawasan yang dikenal sebagai Mamboro Perikanan atau Mamboro Barat. Kawasan yang sohor dengan usaha perikanan, kawasan nelayan, dan usaha penjemuran ikan yang sempat lenyap akibat gelombang laut yang mencapai hampir 300 meter ke daratan.
Tiga bulan masa darurat bencana sejak akhir September 2018 pun menjadi masa kelam terutama bagi warga RT 1 dan 2 di RW 1 Mamboro Barat yang menjadi lokasi terdampak parah tsunami. Total BPBD Palu mencatat 124 rumah rusak berat di lokasi itu.
“Waktu itu suami terpaksa mencari pekerjaan lain. Sedangkan kami perempuan harus mengurusi rumah tangga di tengah pemenuhan kebutuhan yang masih terbatas. Air bersih dan toilet pun belum ada,” kata Nursia (53 th), perempuan penyintas bencana di Mamboro Barat menceritakan.
Perempuan di Mamboro Barat menghadapi beban ganda; mengurusi urusan rumah tangga di tengah suami mereka yang berjuang mencari sumber ekonomi lain di tengah ketidakpastian penanganan darurat bencana oleh pemerintah dan minimnya sumber daya.
Kehidupan kedua yang lebih baik adalah mimpi mereka kala itu; rumah dan permukiman yang tangguh.
Mosinggani; Tekad Membangun Ketangguhan dari Ancaman Berulang

Tsunami 2018 yang merusak Kelurahan Mamboro Barat sejatinya bukan kali pertama terjadi. Bencana serupa sebelumnya menghempas kawasan itu pada 1938 dan merusak 17 rumah membuat penduduk awal yang bermukim di Mamboro memilih meninggalkan lokasi itu.
“Tahun 1938 dan 2018 tergolong bencana yang merusak karena kerusakan parah dan korban jiwa. Tapi selain itu tsunami di Mamboro juga terjadi tahun 1870 dan 1927,” Sejarawan Kota Palu, Jefrianto menjelaskan.
Catatan itu kata Jefri menjadi penegas betapa Mamboro Barat punya tingkat kerawanan terhadap bencana yang tinggi terutama tsunami.
Pengetahuan tentang sejarah kebencanaan di kawasan itu juga penting untuk terus diwariskan agar peristiwa yang menimbulkan dampak besar tidak lagi terulang.
“Sejarah kebencanaan di kawasan itu mesti jadi rujukan untuk membangun mitigasi yang lebih baik. ketidaktahuan sejarah itu juga yang membuat tsunami 2018 banyak menimbulkan kerusakan dan korban,” kata Jefri.
Dari bencana tahun 2018, Emilia, Sia, dan perempuan penjemur ikan di Mamboro Barat menyadari bahwa mitigasi jadi kebutuhan untuk kawasan mereka. Gerakan kolektif pun mulai mereka bangun dalam kelompok yang mereka namai Mosinggani.
Dalam bahasa Suku Kaili, “Mosinggani” berasal dari kata dasar “singgani”, yang berarti berani atau gagah. Sementara “Mosinggani” berarti bersikap berani, tangguh, atau tidak mudah menyerah. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki keberanian dalam menghadapi tantangan atau kesulitan.
Kelompok ini beranggotakan 39 keluarga dari RT 1 dan 2, RW 1 yang mayoritas bermatapencarian penjemur ikan. Permukiman mereka yang berada kurang dari 200 meter dari bibir pantai masuk dalam Zona Merah Bencana (ZRB) yang ditetapkan pemerintah tahun 2019.
Relokasi ke hunian yang diberikan pemerintah adalah pilihan satu-satunya untuk mereka saat itu.
“Yang jadi masalah hunian yang diberikan kepada kami waktu itu jaraknya 5 kilometer dari lokasi kami,” kata Emilia.
Kelompok Mosinggani dilatarbelakangi keinginan warga mencari solusi alternatif ketimbang relokasi 5 kilometer dari kawasan yang telah menjadi penopang hidup mereka. Mereka khawatir relokasi akan menghancurkan kehidupan jangka panjang mereka, mencabut mereka dari tanah penghidupan, dan memisahkan mereka dari tradisi yang secara turun-temurun hidup di wilayah pesisir.
Relokasi ke hunian tetap yang disediakan pemerintah di awal-awal masa rehabilitasi dan rekontruksi pascabencana kala itu menjadi satu-satunya solusi yang diberikan kepada penyintas.
“Masa rehab-rekon harus diakui penuh dinamika. Di awal-awal memang tidak ada skema relokasi mandiri atau pengusulan warga,” Kepala Pelaksana BPBD Kota Palu, Presly Tambulon menjelaskan.
Kebutuhan kaum rentan, ekonomi, hingga kearifan lokal belum menjadi pertimbangan utama pembangunan hunian sementara maupun hunian tetap penyintas kala itu.
Menabung untuk Permukiman Berketahanan

Emilia dan puluhan perempuan lainnya menginisiasi solusi alternatif yakni model rekonstruksi berbasis masyarakat yang berlandaskan kebutuhan mereka sendiri. Kelompok Mosinggani bersama pegiat sosial kemudian mengorganisir diri dan melakukan advokasi ke pemerintah, memperjuangkan hak untuk tetap bermukim tak jauh dari laut, sumber penghidupan sekaligus identitas mereka.
Sejak pertengahan tahun 2019, perempuan di Mamboro Barat memulai menyusun mimpi mereka akan permukiman yang resilien dimulai dengan perencanaan kawasan berbasis mitigasi menjadi awal.
Setelah memutuskan merelokasi diri secara mandiri dari zona rawan bencana, komunitas penjemur ikan itu memilih lahan relokasi berjarak 300 meter di sebelah barat permukiman terdahulu mereka. Di proses ini tabungan menjadi kekuatan kelompok untuk pembiayaan penebusan lahan secara angsur.
Kelompok Mosanggani membiayai lahan perumahan mereka melalui skema yang melibatkan bantuan awal dan kontribusi dari warga.
Kegigihan dan tekad kuat mewujudkan permukiman yang resilien kala itu menarik simpati si pemilik lahan yang memberi kemudahan bagi warga untuk membayar secara bertahap dan lunak. Lahan seluas 5000 meter persegi mereka dapatkan.
Rincian iuran yang ditetapkan yakni Rp275 ribu per bulan selama 5 tahun untuk masing-masing lahan seluas 10X10 meter untuk 12 rumah pertama. Sedangkan 26 lahan masing-masing berukuran 8X8 meter dicicil Rp175 ribu perbulan selama 6 tahun.
Besaran nilai iuran itu sendiri disepakati berdasarkan kemampuan warga yang saat itu masih memulihkan usaha mereka dari dampak bencana.
“Setelahnya kami lalu bermusyawarah dengan bapak-bapak dan sepakat membentuk dua tim. Satu tim mengurusi pembangunan, satu tim lagi adalah perempuan yang fokus pada upaya menabung,” Emilia menceritakan.
Skema tabungan ini akhirnya berkembang menjadi solusi kebutuhan-kebutuhan lain warga di permukiman tersebut. Usaha bersama seperti depot air minum dan pengadaan beras bertahan hingga kini, bahkan keuntungannya bisa membantu warga membiayai iuran lahan dan kebutuhan permukiman mereka.
Pada tahap rancang bangun, warga berkolaborasi dengan komunitas arsitek Yayasan Arsitek Komunitas (Arkom) yang membantu mendesain rumah impian warga. Emilia dan penyintas bencana di kawasan itu memilih bentuk rumah khas pesisir berciri rumah panggung dan tapak yang jadi identitas warga pesisir.
Akhir tahun 2019 menjadi awal Komunitas Mosinggani dan Arkom bersama merancang sebuah permukiman yang tidak hanya menunjukan kearifan lokal sebagai permukiman warga pesisir namun juga berketahanan baik hunian, sosial, ekonomi, hingga lingkungan.
“Di aspek hunian kami membantu merancang hunian yang tahan gempa hingga memfasilitasi warga membuat rincian biaya pembangunan,” kata Fadli, koordinator Arkom Palu.
Panel-panel kontruksi yang adaptif gempa dibagian bawah rumah menjadi penopang kontruksi berbahan kayu yang ada di bagian atasnya. Konsep rumah ini dikenal sebagai Rumah Instan Sederhana, Sehat, dan Aman (Risha). Warga termasuk perempuan bahkan membuat sendiri panel-panel Risha setelah mendapat pelatihan dari Arkom.
“Bahkan kami perempuan jadi tahu dan memastikan kualitas pasir untuk bangunan rumah kami bagus, tidak dicampur tanah,” Emilia menceritakan.
Panel-panel dalam rumah Risha membuat biaya pembangunan bisa ditekan hingga hanya berkisar Rp50 sampai Rp70 juta setiap rumah. Nilai yang jauh lebih murah dibanding rumah konvensional.
Advokasi untuk pembiayaan pembangunan terus dijalankan kelompok ini. Dana stimulan yang jadi kebijakan pemerintah tahun 2020 untuk membantu penyintas membangun kembali rumah mereka dapatkan.
Syamsudin, Ketua RT 01 RW 01, Kelurahan Mamboro Barat menceritakan, hampir setiap tahapan pembangunan yang dilakukan, perempuan selalu mengambil peran. Terlebih saat itu mayoritas laki-laki sebagai kepala keluarga menghabiskan banyak waktu mencari pekerjaan lain untuk memulihkan ekonomi.
“Waktu itu setelah bencana persoalan lain kan sumber ekonomi hilang. Jadi laki-laki banyak mencari pekerjaan lain selain nelayan atau penjemur ikan,” kata Syamsudin.
Sebuah Pengakuan untuk Kontribusi Perempuan

Ajang World Habitat tahun 2021 mengukuhkan permukiman komunitas penyintas bencana ini sebagai peraih World Habitat Awards Bronze Winner karena berhasil mendorong perubahan dalam pembangunan kawasan yang berbasis komunitas.
Kolaborasi penyintas dan Arkom dinilai mendorong perubahan kebijakan di level nasional yang memberi kesempatan ribuan orang untuk memutuskan bagaimana dan di mana mereka membangun kembali kehidupannya. World Habitat bekerja sama dengan UN-Habitat memberi penghargaan tersebut juga karena sejalan dengan semangat hak azasi manusia, yakni setiap orang, di mana pun memiliki hak dasar atas rumah yang aman dan terlindungi.
Ketua Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST), Soraya Sultan menilai insiatif keterlibatan perempuan kelompok Mosinggani bisa menjadi bahan masukan yang menguatkan skema penanganan yang inklusif terhadap dampak bencana lainnya di berbagai tempat. Bahkan mulai dari perencanaan mitigasi.
Kebutuhan spesifik perempuan terkait keamanan, sanitasi (toilet terpisah), dan fungsi rumah kata dia seringkali terabaikan jika mereka tidak dilibatkan dalam proses perencanaan dan pembangunan.
“Perempuan memiliki pengetahuan yang lebih detail tentang kebutuhan rumah tangga dan lingkungan tempat tinggalnya yang penting dalam pembangunan kembali pascagempa, termasuk pembangunan hunian sementara dan tetap,” Soraya mengatakan.
Keterlibatan perempuan juga menjadi langkah mitigasi kerentanan dan Kekerasan yang kerap terjadi di situasi krisis seperti pascabencana.
“Ketika perempuan merasa dianggap penting dan diberdayakan, ini akan menciptakan lingkungan yang lebih stabil dan mendukung bagi keluarga yang terdampak bencana,” kata Soraya.
Pemerintah Kota Palu sendiri kini menjadikan kawasan permukiman tersebut sebagai percotohan pembangunan resiliensi pesisir Kota Palu.
Ada lima indikator penting yang telah dilakukan warga Mosinggani yang dapat menjadi contoh dari upaya membangun ketangguhan.
“Kelompok Mosinggani adalah contoh konkret dari upaya membangun kelembagaan, sosial, ekonomi, lingkungan, dan fisik ,” kata Kepala Pelaksana BPBD Kota Palu, Presly Tambulon.
Setelah mentas dari persoalan hunian pascabencana, kekuatan itu juga yang kini menjadi modal Emilia dan kelompoknya membangun ketangguhan dari ancaman perubahan iklim.
“Lokasi kami yang terdampak tsunami kini hanya kami jadikan lokasi usaha penjemuran ikan. Kami akan tata agar tidak tampak kumuh,” Emilia memungkasi.