PALU, rindang.ID | Di tengah derasnya laju pembangunan industri berbasis eksploitasi sumber daya alam, Sulawesi Tengah menghadapi tantangan serius dalam upaya melindungi keanekaragaman hayatinya yang unik dan tak tergantikan. Di usia 61 tahun, Sulawesi Tengah diminta menunjukan komitmennya terhadap perlindungan lingkungan.
Ada sembilan program prioritas yang ditagline ‘Berani’ oleh Gubernur Sulteng yang baru, Anwar Hafid dalam pidato peringatan 61 tahun Sulawesi Tengah pada 13 April 2025 lalu di Kantor Guburnur.
Anwar membeber 9 program Beraninya yang meliputi aspek kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, ekonomi, hingga pangan. Namun tak satupun isu lingkungan disinggungnya. Mungkin lupa atau karena durasi yang membuatnya tak sempat.
Tapi seberapa penting isu perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati menjadi prioritas Sulawesi Tengah? Yuk kita bahas.
Sulawesi Tengah merupakan bagian dari kawasan Wallacea, zona transisi antara Asia dan Australia, yang dikenal memiliki kekayaan hayati luar biasa, termasuk spesies endemik seperti anoa, babirusa, tarsius, hingga burung maleo.
Namun, derap investasi, mulai dari kawasan industri nikel hingga pertambangan untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), mengancam habitat-habitat alami di provinsi ini. Jika tidak dikelola secara berkelanjutan, pembangunan ini dapat menyebabkan kerusakan permanen pada ekosistem dan mendorong spesies langka menuju kepunahan.
Kekayaan Hayati yang Tak Tergantikan

Sulawesi Tengah bukan sekadar hamparan hutan tropis, tetapi juga rumah bagi berbagai spesies yang hanya bisa ditemukan di sini. Keberadaan anoa di pegunungan dan maleo di kawasan pesisir menjadi simbol pentingnya perlindungan habitat.
Keanekaragaman hayati ini tidak hanya penting bagi keseimbangan ekosistem, tetapi juga memiliki nilai sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal, baik sebagai sumber pangan, obat-obatan tradisional, maupun ekowisata.
“Kalau satu spesies punah, dampaknya bisa menjalar ke seluruh rantai ekosistem dan akhirnya juga akan merugikan manusia,” ujar Given, Direktur Yayasan KOMIU, organisasi yang aktif mendorong perlindungan lingkungan di Sulawesi Tengah.
Ancaman Nyata dari Pembangunan Industri

Pembangunan kawasan industri seperti Morowali Industrial Park (IMIP) dan Kawasan Industri Nikel di Ambunu, Kabupaten Morowali, menjadi contoh konkret bagaimana keanekaragaman hayati bisa terancam. Alih fungsi hutan, polusi, fragmentasi habitat, hingga konflik antara manusia dan satwa liar semakin marak terjadi.
Eksploitasi material untuk pembangunan IKN juga menyebabkan deforestasi di hutan Uwentumbu yang selama ini menjadi habitat penting dan penyangga Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Sekarang ini kami masih melakukan riset, misalnya di hulu kawasan industri seperti IHIP/BTIIG di Morowali. Informasi awal menunjukkan ada anoa dan maleo di sana. Itu bukan hanya habitat spesies endemik, tapi juga penyangga bagi persawahan masyarakat di Kecamatan Bumi Raya,” tambah Given.
Seruan untuk Perlindungan dan Zona Larangan Ekploitasi

Yayasan KOMIU mendesak pemerintah daerah untuk menetapkan area-area dengan keanekaragaman hayati tinggi di luar kawasan konservasi resmi sebagai no go zone atau area yang tidak boleh dieksploitasi.
Langkah ini penting untuk memastikan tidak hanya kelestarian spesies endemik, tetapi juga menjaga fungsi ekologis yang menopang kehidupan masyarakat.
Area-area itu bisa menjadi benteng pertahanan terhadap perubahan iklim dan bencana alam, serta menjaga keberlanjutan hidup masyarakat di sekitarnya.
Menyeimbangkan Pembangunan dan Konservasi

Meskipun pembangunan ekonomi penting, pelaksanaannya harus sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang ketat, keterlibatan masyarakat lokal, dan penetapan kawasan lindung berbasis data ekologi menjadi langkah kunci untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Pegiat sosial dan literasi Sulawesi Tengah, Neni Muhidin, juga menyoroti pentingnya menjadikan HUT Sulawesi Tengah sebagai momentum reflektif bagi perlindungan lingkungan.
“Perayaan ini semestinya menjadi penegasan sikap politik daerah untuk membela kepentingan alam dari ancaman ekstraksi tambang, pembalakan liar, monokultur, hingga penangkapan ikan berlebihan (overfishing),” ujar Neni.
Ia menambahkan bahwa riset-riset pengembangan biodiversitas seharusnya diarahkan untuk membangun masa depan ekonomi yang berpijak pada kemandirian dan keberagaman pangan lokal.
“Kekayaan Sulteng ada pada biodiversitasnya. Itu masa depan kita,” pungkasnya.
Perlindungan keanekaragaman hayati bukan hanya penting bagi keseimbangan ekologis, tetapi juga menyangkut penghidupan masyarakat lokal, mitigasi perubahan iklim, dan tanggung jawab Indonesia terhadap konservasi global.
Sulawesi Tengah memiliki peluang besar untuk menjadi contoh pembangunan yang tidak mengorbankan kekayaan alamnya.
Melindungi keanekaragaman hayati di tengah arus industri bukanlah pilihan, melainkan keharusan untuk masa depan bersama. Berani?