Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. (Foto: IESR)
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. (Foto: IESR)

JAKARTA, rindang.ID | Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan draf awal dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau NDC Kedua pada konsultasi publik (20/07/2024).

Mencermati draf SNDC tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai target iklim Indonesia belum menunjukkan ambisi penurunan emisi yang paling optimal, sesuai dengan kewajiban dan kemampuan negara,  selaras dengan pembatasan temperatur global 1,5°C.

Sementara itu, kenaikan suhu global terus berlangsung dan telah menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi. Berdasarkan estimasi Climate Action Tracker (CAT), target iklim 2030 yang ditetapkan negara-negara saat ini apabila diimplementasikan sepenuhnya, akan memicu kenaikan suhu global sebesar 2,5°C pada akhir abad ini.

IESR menilai, keadaan krisis iklim seharusnya dipandang sebagai keadaan mendesak dan kritis sehingga perlu aksi iklim ambisius di segala sektor. Selain itu, SNDC perlu mengedepankan aspek adil, kredibel dan transparan dalam penyusunan, dan implementasinya.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyampaikan, target penurunan emisi  yang ambisius tercermin dari  keselarasannya dengan target Persetujuan Paris untuk membatasi suhu global di 1,5 derajat Celcius. Untuk itu, Fabby mendorong pemerintah Indonesia untuk memperkuat target penurunan emisi 2030 sesuai Persetujuan Paris dan meningkatkan target NDC, terutama di target conditional (bersyarat, dengan bantuan internasional).

Merujuk pada CAT, untuk sejalan dengan 1,5°C, Indonesia perlu menetapkan target NDC tanpa syarat sebanyak 817 juta ton setara karbon dioksida per tahun pada 2030. Kemudian, pada NDC bersyarat sebesar 771 juta ton setara karbon dioksida pada per tahun pada 2030, dan 647 juta ton setara karbondioksida pada 2035 (angka dalam GWP IPCC AR5), di luar sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU). Sayangnya, menurut Fabby, di sektor energi, salah satu aksi mitigasi pemerintah belum sejalan dengan batas emisi tersebut. Selain itu aksi mitigasi juga masih enggan berpindah ke energi bersih dan mengandalkan teknologi penggunaan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage, CCS) pada PLTU batubara. Teknologi ini dianggap sebagai pembangkit berefisiensi tinggi dan emisi rendah (High Efficiency and Low Emissions, HELE) yang masih diragukan efektivitas dalam memangkas emisi gas rumah kaca.  

“Aksi mitigasi ini kontradiksi dengan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Perpres 112/2022. Perpres ini mencakup rencana pengakhiran PLTU batubara dan pelarangan pembangunan PLTU baru, kecuali pada PLTU batubara untuk industri (captive). Untuk itu, pemerintah perlu memperjelas aksi mitigasi berbasis HELE ini, Khususnya menetapkan bahwa penerapan teknologi HELE ini harus sesuai dengan kelayakan dan hanya bisa dilakukan pada PLTU captive,” jelas Fabby.  Ia menekankan agar rancangan  SNDC memuat pula elemen rencana pensiun dini PLTU sesuai dengan peta jalan yang disusun oleh Kementerian ESDM.

Selain itu, IESR juga mendorong komitmen yang serius dan rencana untuk meningkatkan bauran energi terbarukan menjadi hingga 45 persen pada 2030 agar sesuai dengan target di Persetujuan Paris. Fabby mengingatkan sesuai kesepakatan COP-28 di Dubai, dunia harus meningkatkan kapasitas energi terbarukan global tiga kali lipat setara 11,5 TW dan melipatgandakan efisiensi energi pada 2030. Indonesia seharusnya ikut mendukung kesepakatan ini.

Koordinator Proyek Kebijakan Iklim, IESR, Delima Ramadhani, mengungkapkan, selain ambisius, SNDC harus adil, kredibel dan transparan. Rancangan SNDC akan memuat sub-bab transisi adil (just transition). IESR memandang hal-hal yang harus masuk dalam sub bab tersebut di antaranya pelibatan masyarakat dalam dialog partisipatif, mengutamakan kesetaraan, dan kejelasan implementasi dalam bentuk ketersediaan jaringan pengaman sosial, dan dukungan bagi pekerja terdampak.

“Transisi yang adil perlu dimulai dengan mengakui adanya faktor-faktor seperti gender dan usia yang dapat menghalangi suatu kelompok berpartisipasi dengan adil. Pengakuan ini harus diiringi dengan penerapan kebijakan yang memastikan semua kelompok mendapatkan perlakuan yang adil dan dukungan yang diperlukan selama transisi,” ujar Delima.

Secara kredibilitas, IESR mendorong agar rancangan SNDC ini disertai dengan komitmen politik yang serius dan jelas dari pemerintah dalam mengatasi krisis iklim dan menghapus kebijakan yang kontradiktif terhadap aksi mitigasi penurunan emisi. Di samping itu, pengarusutamaan NDC perlu dilakukan dalam perencanaan di seluruh kebijakan sektoral.

Tidak hanya itu, IESR juga mendorong pemerintah untuk transparan dalam penetapan dan pengukuran target serta dalam implementasi dan kerja sama internasional. Secara implementasi dan kerja sama internasional, pemerintah di antaranya perlu memperjelas kontribusi Indonesia dalam pengurangan emisi metana, sesuai komitmen Global Methane Pledge pada COP26 di Glasgow .

“Pemerintah mengumumkan pada tanggal 20 Agustus 2024, bahwa SNDC akan selaras dengan target 1,5°C. Namun, pemerintah perlu menjelaskan dengan transparan mengenai asumsi yang mendasari besaran ‘kontribusi adil’ Indonesia untuk mencapai target 1,5°C. Ini mencakup bagaimana aspek kesetaraan (equity) tercermin dalam penetapan dan konsiderasi target tersebut apakah sudah sesuai dengan kewajiban dan kapasitas negara dalam upaya mitigasi iklim global,” jelas Delima.

Secara ringkas, IESR merekomendasikan empat elemen kunci yang harus diperhatikan dalam penyusunan SNDC. Pertama, target iklim Indonesia pada tahun 2030 harus ambisius dan selaras dengan jalur global menuju nol emisi karbon pada tahun 2050. Kedua, Indonesia perlu secara rinci dan transparan mengkomunikasikan kebutuhan pendanaan iklim untuk mencapai NDC bersyarat yang sejalan dengan target 1,5°C, serta memasukkan makna dan prinsip transisi adil (just transition) dalam SNDC. Ketiga, pemerintah perlu menunjukan kredibilitas dalam mitigasi krisis iklim dengan menunjukkan komitmen politik yang kuat dan jelas terhadap upaya dekarbonisasi. Keempat, pemerintah harus meningkatkan transparansi target iklim Indonesia dengan dengan memasukan semua GRK dan menyasar seluruh sektor ekonomi.  (bmz/*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *