Indonesia masih kekurangan data dan informasi untuk memetakan kesiapan negara dan daerah dalam mendukung inisiatif transisi energi.
Rindang.ID | Sampai saat ini Indonesia masih kekurangan data dan informasi untuk memetakan kesiapan negara dan daerah dalam mendukung inisiatif transisi energi. Padahal, transisi energi yang ampuh mengatasi perubahan iklim sejatinya berkutat pada perubahan kebiasaan masyarakat sehari-hari seperti memasak, beraktivitas, dan berpindah.
Untuk mengatasi kekosongan tersebut, kami merumuskan indeks kesiapan transisi energi dengan mempertimbangkan tiga indikator: inisiatif energi bersih, ketahanan ekonomi, dan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal. Secara keseluruhan, kami menyusun indeks dari 14 variabel, mulai dari jumlah rumah tangga yang memanfaatkan tenaga surya, ketersediaan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KPP-E), hingga kejadian kasus korupsi.
Indeks ini menjadi basis kami untuk memetakan kesiapan transisi energi di tingkat daerah dan nasional dengan menggunakan data mikro, yakni lebih dari 84 ribu desa dan kelurahan di Indonesia.
Kami memilih data desa karena dapat diolah menjadi indeks komprehensif di berbagai level, mulai dari kota hingga provinsi. Pertimbangan lainnya adalah, sampai saat ini penelitian transisi energi yang berbasiskan data level mikro, seperti desa-desa di Indonesia masih sangat sedikit.
Hasilnya, kami mendapati mayoritas (32 dari 34) provinsi di Indonesia tidak siap mendukung misi transisi energi. Hanya Jakarta dan Yogyakarta yang memiliki skor tinggi dalam hal kesiapan transisi energi di masa depan.
Skor tinggi menandakan provinsi tersebut berpeluang lebih mudah mengikuti kebijakan transisi energi terbarukan Indonesia. Masyarakat di provinsi dengan skor tinggi juga cenderung lebih memahami bahwa pemakaian energi bersih itu penting.
Sebaliknya, provinsi dengan kesiapan lebih rendah memerlukan waktu dan penyesuaian lebih lama untuk bertransisi. Soalnya, mereka kekurangan dukungan finansial, keterbatasan kebijakan terkait, dan kesulitan dalam mengakses teknologi ramah lingkungan.
Daerah yang paling tidak siap
Analisis kami menunjukkan bahwa delapan provinsi sangat tidak siap dalam menghadapi transisi energi. Mereka adalah Kepulauan Bangka Belitung, Papua Barat, Kalimantan Utara, Bengkulu, Maluku, Jambi, Papua, dan Sulawesi Tengah.
Daerah-daerah tersebut umumnya memiliki ketahanan ekonomi yang rendah, kapasitas pemerintahan yang terbatas, dan inisiatif energi bersih yang minim.
Salah satu variabel untuk menilai ketahanan ekonomi dalam studi kami adalah jumlah Surat Keterangan keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang diterbitkan oleh otoritas Desa maupun Kelurahan. Sebagai contoh, Kalimantan Utara menerbitkan 14.969 SKTM dan Papua Barat 19.198 SKTM pada 2020. Kedua provinsi ini menjadi provinsi dengan jumlah penerbitan SKTM paling sedikit secara nasional, sekaligus memiliki kesiapan transisi energi yang rendah.
Namun, patut dicatat bahwa jumlah SKTM yang diterbitkan oleh pemerintah tidak serta-merta menggambarkan jumlah kemiskinan pada provinsi tersebut.
Papua Barat, misalnya. Meskipun provinsi ini menerbitkan sedikit SKTM, jumlah penduduk miskinnya mencapai 209 ribu orang. Ini mencerminkan lemahnya sistem pemerintah dalam mengidentifikasi kemsikinan.
Dalam perpektif transisi energi, kami menganggap variabel kemiskinan relevan. Sebab, transisi energi kerap memerlukan biaya awal yang tidak sedikit, sehingga biasanya kurang terjangkau bagi keluarga miskin.
Misalnya, biaya pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di rumah, belum termasuk perawatannya, berkisar Rp 17 hingga 51 juta. Biaya ini tentu terlampau mahal bagi masyarakat miskin yang perlu memprioritaskan pengeluarannya untuk kebutuhan mendasar seperti makan dan tempat tinggal.
Dalam aspek kapasitas pemerintahan, kami memasukkan kasus korupsi sebagai salah satu variabel. Riset kami menyimpulkan bahwa daerah dengan kasus korupsi lebih sedikit memiliki skor kapasitas pemerintahan yang lebih tinggi.
Contohnya, Kepulauan Bangka Belitung memiliki kapasitas pemerintahan yang sangat rendah dengan skor 32,97 dari 100, hanya satu peringkat di atas Papua sebesar 15,56. Ini tidak lepas dari kasus korupsi pertambangan timah di Bangka Belitung.
Tantangan transisi energi bagi provinsi-provinsi di wilayah timur juga tercermin dalam inisiatif energi bersih. Salah satu variabel dalam aspek ini adalah penggunaan panel surya di jalan-jalan utama desa.
Riset kami menemukan bahwa Papua menjadi provinsi dengan nilai terendah dalam variabel ini. Masalah utama sebenarnya tidak hanya terletak pada penggunaan panel surya, tetapi juga ketersediaan dan keterjangkauan jalan di Papua yang lebih rendah dibandingkan provinsi-provinsi di Pulau Jawa.
Daerah yang lebih mending
Di sisi lain, ada beberapa daerah yang menunjukkan kesiapan lebih baik dalam transisi energi. Kategori ini menjadi yang paling dominan di Indonesia. Sebanyak 20 provinsi tecatat memiliki tingkat kesiapan menengah.
Provinsi seperti Sulawesi Tenggara, Bali, dan Nusa Tenggara Timur telah mulai mengadopsi inisiatif energi bersih dengan lebih baik.
Walau demikian, transisi energi di provinsi-provinsi ini belum mencapai level tinggi karena inisiatif yang belum masif dan ketahanan ekonomi mereka kurang kokoh.
Inisiatif energi bersih dapat diukur dari inisiatif penggunaan bahan bakar berbasis listrik. Sebagai perbandingan, di Jakarta, setidaknya terdapat 118 stasiun pengisian kendaraan listrik. Sebaliknya, gabungan jumlah stasiun di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua bahkan tidak mencapai setengah yang ada di Jakarta.
Meskipun begitu, daerah-daerah dalam kategori ini memiliki peluang peningkatan kesiapan yang cukup baik. Bali, misalnya, telah mengimplementasikan berbagai program energi bersih seperti penggunaan panel surya di bangunan publik dan hotel-hotel. Pemerintah Bali juga aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya efisiensi energi dan penggunaan sumber energi terbarukan.
Oleh karena itu, pemerintah provinsi dalam kategori ini perlu mempertimbangkan kebijakan yang terfokus untuk menguatkan pembangunan ekonomi. Mereka juga perlu menerapkan inisiatif energi ramah lingkungan secara bertahap.
Provinsi sangat siap
Dua provinsi dengan tingkat kesiapan tinggi adalah Jakarta dan Yogyakarta. Keduanya mendominasi dalam indikator inisiatif energi bersih dan ketahanan ekonomi.
Data menunjukkan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan inisiatif bahan bakar memasak dengan listrik didominasi oleh daerah-daerah di Jakarta dan Yogyakarta.
Yogyakarta telah menyediakan KPP-E bagi petani dan peternak sejak lama. Melalui kredit ini, masyarakat berhak mendapatkan pinjaman dengan suku bunga terjangkau untuk mengadopsi teknologi budi daya lebih ramah lingkungan.
Kedua provinsi tersebut juga memiliki ruang fiskal lebih luas untuk mengalokasikan anggaran pada pengembangan teknologi dan energi. Hal tersebut tercermin dalam penerimaan daerah masing-masing. Pada 2021, realisasi pendapatan di Jakarta mencapai Rp65,57 triliun dan Yogyakarta Rp5,7 triliun. Ini lebih tinggi dari separuh total provinsi di Indonesia.
Mencapai transisi yang adil
Kebijakan transisi energi Indonesia seharusnya berjalan sesuai dengan keunikan, kelebihan, dan kekurangan masing-masing provinsi. Kita perlu menghindari prinsip pukul rata alias one-size-fits-all untuk berhijrah ke energi terbarukan.
Sebagai contoh, riset kami mendapati Kalimantan Timur memiliki peringkat menengah dalam kesiapan transisi energi secara keseluruhan. Namun, dalam aspek inisiasi energi bersih, provinsi ini menempati peringkat lima terbaik.
Hal ini dimungkinkan karena rendahnya kapasitas pemerintahan di Kalimantan Timur. Kapasitas ini adalah salah satu pendorong kesiapan transisi energi.
Oleh karena itu, pemerintah dapat memfokuskan sumber daya untuk membangun pemerintahan yang lebih bersih dan terstruktur demi melancarkan proses dan manajemen transisi energi. Kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil adalah kunci utama untuk mencapai transisi energi yang berkelanjutan. Dengan komitmen dan upaya kolektif, Indonesia dapat menavigasi tantangan ini dan mencapai visinya sebagai pemimpin dalam mendukung transisi energi global.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.