Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, Wira A Swadana pada Just Transition Dialogue II di Jakarta, Kamis (25/7/2024). (Foto: HO-IESR)
Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, Wira A Swadana pada Just Transition Dialogue II di Jakarta, Kamis (25/7/2024). (Foto: HO-IESR)

JAKARTA, rindang.ID | Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan pentingnya definisi dan indikator transisi energi berkeadilan yang jelas dan sesuai dengan konteks Indonesia.

Penekanan itu disampaikan dalam acara Just Transition Dialogue II bertema ‘Menyelaraskan Pandangan dan Strategi Intervensi Masyarakat Sipil dalam Mewujudkan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia’ yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (25/7/2024).

Kejelasan konsep dan cakupan transisi energi berkeadilan itu diniali akan meminimalisir risiko sosial, ekonomi dan teknologi dari proses transisi energi.

Menurut, IESR mendefinisikan transisi energi berkeadilan atau transisi berkeadilan adalah proses peralihan dari sistem sosial-ekonomi intensif karbon menuju sistem sosial-ekonomi rendah karbon yang bertujuan: mengatasi permasalahan ekonomi, sosial, energi, dan lingkungan yang ada; melakukan mitigasi dari permasalahan yang berpotensi muncul akibat dari transisi; dan mendorong sistem rendah karbon yang bermanfaat dan tidak merugikan secara signifikan bagi pihak-pihak terkait, melalui pendekatan multisektoral dan multipihak di berbagai tingkatan.

Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, Wira A Swadana mengungkapkan, untuk mencapai tujuan dari transisi berkeadilan tersebut dapat menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan transformasi ekonomi, transformasi sosial-politik, dan pelestarian lingkungan.

“Di dalam transformasi ekonomi, misalnya, terdapat empat komponen utama yang perlu dimasukkan yaitu pengentasan kemiskinan, kemajuan ekonomi berkelanjutan, pekerjaan hijau dan resiliensi ekonomi,” sebutnya.

Setiap komponen memerlukan indikator yang relevan diperlukan. Misalnya, untuk komponen kemajuan ekonomi berkelanjutan, indikatornya dapat berupa Produk Domestik Bruto (PDB), pertumbuhan investasi, pendapatan nasional bruto per kapita, bauran energi terbarukan dan proporsi kelas menengah, jelas Wira.

Wira menyatakan, transformasi sosial politik diperlukan untuk mendukung kebijakan dan regulasi yang mendorong transisi berkeadilan. Komponen transformasi ini mencakup pembangunan manusia dan inklusivitas masyarakat. Selain itu, pelestarian lingkungan hidup harus menjadi prioritas utama dalam setiap langkah transisi energi, termasuk perlindungan keanekaragaman hayati, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan pengurangan emisi karbon.

“Dengan adanya kejelasan definisi dan cakupan transisi berkeadilan, harapannya Indonesia memiliki acuan untuk perencanaan dan pelaksanaan transisi berkeadilan sesuai konteks Indonesia. Tentu saja hal ini membutuhkan komitmen yang kuat dan kolaborasi dari semua pihak, agar Indonesia dapat berhasil dalam transisi berkeadilan yang tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan untuk semua,” kata Wira.

Royanto Purba, Ketua Umum Forum Serikat Pekerja (FSP) Kerah Biru, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia menegaskan pentingnya mitigasi dampak negatif dari hilangnya pekerjaan di sektor energi fosil seiring dengan pelaksanaan transisi energi berkeadilan.

Mitigasi ini dapat dilakukan melalui pengembangan program pelatihan dan keterampilan, penyediaan jaring pengaman bagi pekerja yang terdampak, peningkatan dialog sosial, serta keterlibatan pekerja dan komunitas dalam prosesnya.

“Dalam mewujudkan transisi energi berkeadilan ini diperlukan koherensi dan harmonisasi kebijakan, pembentukan dewan tripartit transisi energi berkeadilan antara pemerintah, pengusaha, dan tenaga kerja. Kita punya NDC (Nationally Determined Contribution), dengan berbagai target penurunan emisi yang dapat berdampak pada pengurangan jumlah  pekerjaan (di energi fosil, red). Hal ini harus diinformasikan kepada serikat pekerja untuk antisipasi dampaknya. Untuk itu, perlu adanya peta jalan ketenagakerjaan yang jelas untuk memberi arah bagi pekerja menghadapi transisi energi,” imbuh Royanto. (bmz)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *