DONGGALA, rindang.ID | Sekitar 120 kilometer ke arah Utara Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, sebuah desa bernama Mapane Tambu mempertontonkan dedikasi warganya dalam upaya sadar melestarikan lingkungan.
Desa yang terletak di pesisir pantai yang secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala itu melakukan konservasi terhadap penyu hijau (Chelonia mydas) yang menjadikan pesisir desa itu sebagai habitatnya.
Jika musim bertelur, puluhan penyu hijau naik ke pantai dan meletakkan telur-telurnya dalam timbunan pasir. Beberapa waktu kemudian setelah telur menetas, bayi-bayi penyu itu atau tukik itu secara alami bergerak, berjalan menuju laut.
Perjalanan tukik menuju laut untuk menjalani kehidupan selanjutnya bukan tanpa tantangan. Dari ribuan tukik yang bergerak perlahan itu, sebagian besarnya tak mencapai laut karena berbagai sebab, antara lain suhu udara, terik panas, dan Ketika sampai di laut harus berhadapan dengan predator.
Perjuangan hidup yang kerap tidak menguntungkan itu adalah salah satu penyebab penyu hijau sulit berkembang, bahkan populasinya dilaporkan terus mengalami penurunan. Selain dijarah oleh manusia tak terkecuali telur-telurnya untuk dikonsumsi dan dijual, penyu juga menghadapi tantangan alam yang besar.
Kesulitan bertahan hidup penyu hijau itu mengilhami warga desa setempat untuk berpartisipasi secara sadar membantu kelangsungan hidupnya. Warga setempat sadar, jika hal it uterus berlangsung, bukan mustahil penyu tinggal nama saja alias punah dan tidak generasi berikutnya tidak akan pernah melihat penyu lagi.
Dimotori Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Saiful Bahri, warga pun mulai mematrikan diri untuk ambil bagian dalam usaha-usaha konservasi penyu di wilayahnya.
“Awal mula kita sering melihat nelayan-nelayan itu mendapatkan penyu yang bertelur, kemudian telurnya dijual. Setelah membaca beberapa literatur dengan beberapa orang yang peduli terhadap lingkungan, ternyata kalau ini dibiarkan penyu akan punah,” kata Saiful dalam sebuah kesempatan.
Gagasan konservasi penyu di desa itu muncul 2017. Ada dua jenis yang masuk dalam upaya konservasi, yakni penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau yang keduanya adalah termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Upaya konservasi pun dijalankan Saiful Bersama warga setempat. Berbagai program yang menyertainya dijalankan dengan tidak mengabaikan kesejahteraaan warga yang notabene adalah nelayan.
Setiap sumbangsih warga semisal mendapatkan telur penyu yang kemudian diserahkan ke pengelola konservasi untuk ditangkarkan, akan dikompensasi dengan imbalan. Sumber imbalan itu sendiri berasal dari sumbangan pihak ketiga yang peduli dengan pelestarian penyu.
Bagi Saiful dan kelompoknya yang kemudian diberi nama Komunitas Lentora Mapane Tambu, mengelola konservasi penyu bukan tanpa hambatan. Minimnya fasilitas dan terbatasnya sumber pembiayaan adalah hal yang tidak pernah luput dari setiap persoalan. Namun demikian, itu tidak membuat patah semangat. Berbagai usaha dilakukan hingga menemukan jalan keluarnya.
Meski dilingkupi keterbatasan dalam banyak hal, namun semangat komunitas untuk berada di jalur konservasi tetap membara. Baginya, konservasi penyu di wilayahnya tidak sekadar konservasi begitu saja. Mereka melihat potensi kemajuan desa di balik semua kegiatan konservasi itu, paling tidak di sektor pariwisata.
Konservasi penyu terbilang unik bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang tidak berdiam di pesisir pantai. Pariwisata yang menawarkan kenunikan konservasi itu diyakni akan menjadi daya tarik tersendiri. Dan harapannya memang demikian, konservasi itu akan memberikan dampak bagi sektor lainnya dan diharapkan dapat memantik ekonomi warga sektiarnya.
Kini, Komuntas Lentora Mapane Tambu bisa berbangga kembali karena upaya konservasinya telah membuahkan hasil dan telah beberapa kali melepsliarkannya ke laut.
Terkini, bahkan pelepasliaran itu dibuatkan acara khusus dengan sangat seremonial di Pantai Tanjung Karang, Donggala, Sabtu (20/7/2024). Sekurangnya, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulteng, Wahid Irawan hadir langsung untuk merayakan pelepasliaran 100 tukik dan keberhasilan komunitas itu dalam konservasi penyu.
Tak itu saja, Pj. Bupati Donggala yang diwakili Kadis Pariwisata Donggal, Kepala BKSDA Sulteng, Kepala Perwakilan Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Sulteng, Dinas Perikanan Donggala, Kepala Desa Mapane Tambu, Komunitas Selam, dan sejumlah pemerhati Lingkungan di Sulteng juga ikut membersamai kegembiraan melepas tukik-tuki it uke alam bebas.
Saiful Bahri dalam kegiatan itu mengemukakan, sebagian besar masyarakat di Desa Mapane Tambu sudah memiliki kesadaran untuk melestarikan dan menjaga habitat penyu. Terbentuknya kelompok masyarakat yang ikut menjaga dan memelihara telur-telur penyu yang ditemukan oleh warga sekitar adalah salah satu bukti yang sangat relevan.
Ia mengatakan, Komunitas Lentora tersebut yang di dalamnya adalah warga setempat telah menjaga kelestarian penyu dengan melakukan kegiatan konservasi berupa pemindahan telur penyu, melakukan penetasan semi alami, pembesaran tukik, dan pelepasliaran tukik ke habitat asalnya sejak 2017 lalu.
Ada 7 jenis penyu dan 6 d iantaranya terdapat di Indonesia. Konservasi merupakan salah satu kegiatan yang sangat diharapkan dapat mencegah punahnya habitat penyu karena predator alami maupun manusia.
Kegiatan konservasi Komunitas Lentora ini merupakan salah satu cara untuk menjaga kelestarian habitat penyu di Indonesia. Adanya kesadaran masyarakat sekitar mengenai perlindungan penyu mempunyai peran penting untuk menjaga kelestariannya, tandas Saiful. (bmz)