Sah! Diskusi panjang akhirnya mencapai kemufakatan. Setiap tetua adat memberikan cap lima jari yang sudah dilumuri dengan darah kerbau sebagai tanda komitmen tunduk pada kesepakatan adat yang disetujui bersama. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Sah! Diskusi panjang akhirnya mencapai kemufakatan. Setiap tetua adat memberikan cap lima jari yang sudah dilumuri dengan darah kerbau sebagai tanda komitmen tunduk pada kesepakatan adat yang disetujui bersama. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

GEMA pelestarian lingkungan membahana kemana-mana. Namun di Dataran Lindu, sebuah pelosok sekitar 80 kilometer ke arah Timur Sulawesi Tengah atau di sekitar kawasan Danau Lindu, masyarakatnya sudah memiliki tradisi untuk menjaga lingkungannya.

Beberapa waktu lalu, sebuah kegiatan adat digelar dalam rangka pelestarian lingkungan tersebut. Kegiatan itu bernama Kapotia Nulibu Ada atau permusyawaratan adat itu menghadirkan para tetua adat. Pokok bahasannya adalah bagaimana menjaga lingkungan dengan menegakkan hukum adat yang telah berlaku turun-temurun.

Ketua-ketua adat dari empat desa yang masuk dalam kawasan tersebut duduk bersila dipimpin seorang ketua adat yang membawahi ketua-ketua adat dari empat desa tersebut. Mereka mendiskusikan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan setiap individu dalam kaitan interaksi sosial dan lingkungannya. Tak hanya itu, sanksi-sanksinya juga ikut ditetapkan.

Mereka saling berbagi dan kerap kali harus berdebat untuk mencapai sebuah kesepakatan adat yang nantinya akan menjadi pedoman hubungan sesama manusia dan kepada lingkungan. Salah satu contohnya adalah siapa-siapa yang ditemukan menebang pohon akan dikenakan sanksi berupa satu ekor kerbau. Kesepakatan lainnya, siapa-siapa yang ditemukan menangkap ikan di Danau Lindu ketika sedang dalam masa umbo (moratorium penangkapan) juga akan didenda satu ekor kerbau.

Tak sekadar membuat kesepakatan, kesepahaman itu disakralkan dengan menyembelih seekor kerbau hitam yang darahnya akan digunakan sebagai tinta untuk cap jempol lima jari pada kain putih. Semua pemuka adat harus melakukan cap jempol sebagai tanda persetujuan penegakan hkum adat. Siapa pun yang melanggar akan disanksi sesuai kesepakatan itu.

Daging kerbau yang disembelih dimasak ramai-ramai yang kemudian disajikan untuk dinikmati secara bersama-sama. Ketegangan, kerisauan dan bahkan kecemasan dalam proses pencapaian kesepakatan hilang dengan serta merta ketika sajian makanan dihamparkan oleh putri-putri warga setempat. ***

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *