climate change.
Ilustrasi climate change. (shutterstock.com)

Tampaknya Indonesia ragu-ragu untuk mengurangi emisi dari sektor energi dengan meninggalkan energi fosil terutama batu bara. Komitmennya dipertanyakan dalam ber-transisi energi, dengan berencana merevisi target bauran energi baru terbarukan (EBT).

UPAYA pengurangan emisi dengan membangun sistem ketahanan energi nasional sejatinya menjadi pertaruhan dalam menyelamatkan sumber daya alam, lingkungan, dan kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan tanah air. Di satu sisi, kebutuhan energi terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi. Di sisi lain, penggunaan sumber daya energi fosil yang selama ini menjadi sumber energi utama memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan iklim.

Penggunaan energi fosil telah merusak hutan dan alam Indonesia. Pencemaran air, laut, udara, sungai, dan tanah akibat eksploitasi besar-besaran merupakan dampak nyata dari beroperasinya izin pertambangan. Hal ini mendorong urgensi transisi energi menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan yang tidak merusak hutan dan lingkungan, yakni beralih ke energi terbarukan.

Upaya transisi energi ini menjadi semakin penting mengingat kondisi cadangan sumber daya fosil di Indonesia yang semakin menipis. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), memperkirakan cadangan minyak bumi nasional pada tahun 2020 diperkirakan hanya akan bertahan sekitar 9,5 tahun ke depan. Indonesia, yang menempati peringkat ke-19 dalam cadangan minyak dan gas bumi secara global, dihadapkan pada tugas berat untuk mempersiapkan masa depan energinya.

Selain itu, meskipun Indonesia memiliki cadangan batu bara yang melimpah, dengan Proven Potential mencapai 99,2 Miliar Ton dan Proven Reserve sebesar 35 Miliar Ton yang diperkirakan dapat bertahan selama 62,4 tahun dengan tingkat produksi saat ini, penggunaan batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi, terutama untuk pembangkit listrik hanya akan menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim. Hal tersebut menunjukan bahwa cadangan energi fosil Indonesia tidak banyak dan bukan solusi menghadapi perubahan iklim.

Indeks Trilema Energi juga masih rendah, dengan peringkat 56, menandakan perlunya komitmen kuat dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor energi. Dengan target pengurangan sebesar 385 juta ton CO2, langkah-langkah konkret dan strategis harus segera diambil untuk mewujudkan perubahan ini.

Tampaknya Indonesia ragu-ragu untuk mengurangi emisi dari sektor energi dengan meninggalkan energi fosil terutama batu bara. Komitmennya dipertanyakan dalam ber-transisi energi, dengan berencana merevisi target bauran energi baru terbarukan (EBT). Target yang seharusnya mencapai 23% pada tahun 2025, akan direvisi menjadi 17-19%. Perubahan ini tercakup dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). Saat ini diperkirakan capaian bauran energi pada 12%.

Sugeng Suparwoto selaku Ketua Komisi VII DPR RI menggagas salah satu model bisnis yang sedang dipertimbangkan adalah Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). Model bisnis ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan produksi migas dengan menangkap karbon dioksida (CO2) dan menyimpannya di dalam reservoir bawah tanah atau memanfaatkannya untuk keperluan lain. Dengan menerapkan CCS dan CCUS, diharapkan dapat mengurangi dampak lingkungan dari industri migas serta meningkatkan keberlanjutan sektor ini.

Komisi VII DPR RI saat ini tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas bahwa untuk mendukung peningkatan produksi minyak dan gas bumi (migas) dengan memperhatikan aspek keberlanjutan.

Pada workshop yang bertajuk “Menavigasi Tantangan dan Peluang Transisi Energi Pasca Pemilu 2024” yang diselenggarakan oleh Indonesian Parliamentary Center (IPC) pada Selasa, 27 Februari 2024 di Jakarta, Sugeng Suparwoto juga menjelaskan bahwa Komisi VII terbuka dengan berbagai masukan, terutama soal Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) yang kemungkinan besar akan disahkan dalam beberapa kali sidang. “Kami terbuka dan koalisi ini bisa hearing di gedung DPR RI”, tegas Sugeng.

Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, mempertanyakan arah navigasi transisi energi yang dinahkodai Komisi VII DPR RI ini yang belum jelas. Pun terkait masih dimasukkannya bioenergi ke dalam golongan energi terbarukan di dalam draft RUU EBET. Ada keraguan bahwa dalam pengambilan keputusan bioenergi sebagai energi terbarukan, DPR selaku pengusul RUU ini sudah cukup informasi atau tidak, seperti dalam mengukur dampak deforestasi yang ditimbulkan. Bioenergi baik itu dari turunan komoditas sawit atau dari biomassa kayu dalam bentuk wood pellet, sangat erat kaitannya dengan hutan dan lahan. Komodifikasi sumber daya alam oleh konsesi menuntut tingginya permintaan akan lahan, yang justru akan menjadi driver deforestasi.

Catatan FWI (2023), biomassa kayu yang ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan co-firing di 52 PLTU akan dipenuhi melalui pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE). Setidaknya saat ini sudah ada 31 konsesi HTE dan sudah merusak hutan alam Indonesia sebanyak 55 ribu hektare. Jika kebijakan co-firing dan penggunaan biomassa kayu sebagai strategi bauran energi dan upaya pengurangan emisi dilanjutkan, maka justru diproyeksikan ada 4,65 juta hektare hutan alam yang akan terdeforestasi. “Bioenergi merupakan bagian dari bisnis yang justru akan menjadi driver deforestasi baru dari transisi energi. Transisi energi seharusnya meninggalkan energi fosil, proyek co-firing, dan komodifikasi sumber daya alam”, tutup Anggi.

Arif Adiputro, Koordinator Divisi Perwakilan Parlemen, Indonesian Parliamentary Center, menegaskan bahwa masyarakat sipil membutuhkan wadah informasi arah dan tujuan kebijakan energi baik di parlemen maupun di pemerintahan. IPC bersama rekan-rekan CSO lain telah bersepakat untuk tidak memasukan konsep energi baru seperti gasifikasi batubara, nuklir dan termasuk co-firing dalam proses legislasi RUU EBET. Karena hal tersebut menghambat proses transisi energi yang sebenarnya. Untuk itu kami sering menyuarakan terus menerus agar DPR dan Pemerintah mengeluarkan unsur energi baru di RUU EBET.

Pengurangan emisi dari sektor energi atau transisi energi menuju energi bersih merupakan suatu keharusan yang mendesak bagi Indonesia. Saat ini, arah navigasi yang diambil masih belum jelas, dengan masih bergantung pada penggunaan batubara, cofiring, dan bioenergi yang berkontribusi pada deforestasi. Hal ini memicu kekhawatiran atas ketidakpastian mengenai upaya pengurangan emisi dan dampak negatif terhadap lingkungan.

Penggunaan energi fosil, terutama batu bara, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang tinggi dan berkontribusi pada perubahan iklim. Deforestasi akibat bioenergi juga menjadi masalah serius. Pemerintah terlihat ragu-ragu dalam meninggalkan energi fosil. Rencana revisi target bauran energi terbarukan dan penggunaan batubara dan co-firing menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya berkomitmen pada transisi energi.

Pemerintah harus fokus pada kebijakan yang mendukung transisi energi dan tidak merugikan lingkungan. Arah navigasi transisi energi harus jelas dan terukur, dengan target yang ambisius namun realistis. Pemerintah harus berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menghentikan penggunaan batu bara dan co-firing, serta mendorong pengembangan dan penggunaan energi terbarukan yang berkelanjutan. Akses energi yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat juga harus dijamin.

Masyarakat sipil harus terus mengawasi dan mendorong pemerintah untuk berkomitmen pada transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Transisi energi adalah tanggung jawab bersama untuk mencapai masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. (bmz)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *