maleo
Burung Maleo (Macrocephalon maleo) di dalam kandang penangkaran di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (1/8/2023). (Foto: bmzIMAGES/Basri Marzuki)

PALU, RINDANG | Jika sekadar untuk melihat langsung wujud atau rupa burung Maleo (Macrocephalon maleo) yang endemik Sulawesi, tak harus ke Kabupaten Banggai yang dikenal sebagai habitatnya, di Kota Palu pun burung ikonik itu juga dapat disaksikan langsung.

Adalah Dr Ir Mobius Tanari MP IPU, seorang dosen di Fakultas Peternakan dan Perikanan Untad yang menangkarkannya di kediamannya yang terletak di Jalan Bente, Tavanjuka. Memanfaatkan bagian sisi halaman rumahnya, puluhan ekor burung Maleo berhasil ditangkarkannya.

Awalnya, burung-burung Maleo itu diperoleh dari pusat konservasi di tiga perusahaan di Kabupaten Banggai. Dr Mobius adalah staf ahli di ketiga perusahaan tersebut untuk usaha-usaha pelestarian lingkungan, terutama satwa endemik Maleo.

Mobius bercerita, penangkaran yang dilakukan atas seizin Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng itu tidak semata karena latar belakangnya di bidang peternakan, namun juga karena ketertarikannya pada dunia burung.

anakan maleo
Anakan burung Maleo di penangkaran. (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

“Saya mulai bergelut dengan burung Maleo ini sejak 2004,” aku Mobius di sela-sela memberi makan anakan burung Maleo berusia dua minggu di salah satu kandang penangkarannya belum lama ini.

Sejak itu, aktivitasnya banyak diwarnai dengan kegiatan yang bersinggungan dengan burung Maleo. Hingga suatu ketika disadari bahwa upaya pelestarian itu tidak semata dengan menangkarkannya, tetapi juga harus menjadi obyek penelitian.

“Mahasiwa saya kan cukup banyak, kasihan juga kalau untuk meneliti Maleo ini harus ke Banggai. Jadi saya berfikir bagaimana membuat penangkaran yang mudah dijangkau oleh mahasiswa untuk penelitian,” lanjutnya.

Pusat konservasi itu kemudian didirikannya atas persetujuan BKSDA setempat, dan sejumlah mahasiswa pun telah terlibat aktif dalam berbagai proyek penelitian. Bahkan dari penangkaran itu sejumlah keberhasilan telah diraihnya, antara lain pelepasliaran Maleo ke habitat aslinya, pengiriman ke sejumlah kebun binatang di Indonesia, dan terpenting lagi, sejumlah mahasiswa telah menyelesaikan proyek penelitiannya di kawasan tersebut.

“Jadi motivasi awalnya memang seperti itu, pertama sebagai tempat riset berkelanjutan, kedua dapat memperkenalkan Maleo ke masyarakat dan terakhir membantu peningkatan populasi di alam,” jelasnya.

Meskipun kawasan penangkaran itu cukup terbatas dari segi luasan, namun Mobius mengaku enjoy saja dengan itu. Ia juga merasa tidak terganggu jika ada pengunjung yang datang secara khusus hanya untuk melihat Maleo yang ditangkarkannya termasuk warga negara asing yang beberapa kali datang berkunjung, maklum katanya karena terbuka untuk publik.

Kebanggaan bagi Mobius, karena melalui penangkaran yang dilakukannya, anggapan bahwa system  reproduksi burung Maleo tidak berjalan dengan baik jika berada di luar habitatnya, terbantahkan. Ia mengaku, telah beberapa kali berhasil menetaskan telur maleo setelah dilakukan riset mendalam. Bahkan ratusan ekor burung maleo dilepasliarkannya dari penangkaran yang dilakukannya itu.

telur maleo
Mahasiswa menata telur burung Maleo (Macrocephalon maleo) yang akan dietaskan (bmzIMAGES/Basri Marzuki)

Berdasarkan data BKSDA, sejak 1950-an populasi burung Maleo telah menurun drastis hingga 90 persen. Penurunan itu sangat mengkuatirkan hingga pemerintah menerbitkan PP  No.7/1999 yang salah satunya melindungi burung endemik Sulawesi ini. BirdLife International, sebuah lembaga konservasi international untuk pelestarian burung bahkan menyebut, populasi global maleo saat ini berkisar 8.000 – 14.000 individu dewasa.

“Harapan kita adalah populasi burung Maleo ini makin banyak dan tidak lagi dilindiungi, sehingga masyarakat bisa juga memeliharanya,” harap Mobius. (bmz)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *