Peran aktif masyarakat adalah kunci utama agar masalah sampah plastic dapat ditanggulangi dan dampaknya dapat diminimalisir sekecil mungkin, demikian slogan yang selalu dikumandangkan oleh
banyak pihak. Namun sejauh mana inisiatif-inisiatif positif itu bisa ditumbuhkan? Itulah persoalannya.

PALU, RINDANG | Sampah plastik menjadi salah satu isu lingkungan yang banyak dibicarakan belakangan ini. Ekses yang ditimbulkannya dinilai banyak pihak cukup mengkuatirkan karena terkait dengan aspek kesehatan manusia, polusi, hingga pengaruhnya pada perubahan iklim dan pemanasan global.

Sampah plastik menjadi berbahaya jika mencemari perairan, terutama di daerah tangkapan nelayan. Partikel-partikel sampah plastik (mikro plastik) tidak hanya memberikan dampak buruk bagi biota laut. Dalam jangka panjang, manusia juga akan terkena dampaknya. Hal itu karena manusia mengonsumsi ikan dan produk-produk dari laut. Ikan atu hewan laut yang sudah menelan mikro plastik akan menyerap racunnya. Racun ini lalu berpindah ke manusia yang mengonsumsinya.

Bahaya serta ancaman lainnnya, sampah plastik butuh waktu ratusan tahun sebelum terurai sempurna. Dalam prosesnya, sampah hancur menjadi partikel-partikel kecil, menyebar di perairan dan tanpa sadar dikonsumsi oleh hewan-hewan di lautan. Sampah-sampah itu terus membunuh makhluk hidup di lautan.

Berdasarkan penelitian yang diterbitkan Sekretariat Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention On Biological Diversity) pada 2016, sampah di lautan telah membahayakan lebih dari 800 spesies.

Dari 800 spesies itu, 40 persennya adalah mamalia laut dan 44 persen lainnya adalah spesies burung laut. Data itu diperbarui pada Konferensi Laut PBB di New York pada 2017 lalu. Konferensi itu menyebut limbah plastik di lautan telah membunuh 1 juta burung laut, 100 ribu mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan-ikan dalam jumlah besar setiap tahunnya.

Sampah plastik juga memberi pengaruh langsung terhadap perubahan iklim. Plastik mulai dari proses produksinya, penggunaannya, hingga menjadi sampah memberi kontribusi bagi peningkatan emisi karbon. Plastik adalah hasil ektraksi minyak dan gas bumi berwujud Nafta. Nafta diolah sedemikian rupa hingga menjadi plastik kemasan, botol, kantongan, dan berbagai produk plastik lainnya. Ketika selesai digunakan akan dibuang atau dibakar atau masuk ke laut. Keseluruhan proses itu meningkatkan emisi  karbon dan muaranya pada pemanasan global.

Pertumbuhan penduduk dari waktu ke waktu dan peningkatan arus urbanisasi secara positif juga memicu kenaikan volume sampah plastik di berbagai wilayah. Kandungan kimiawi ditambah dengan periode waktu yang dibutuhkannya hingga ratusan tahun untuk mengurainya makin menyita kekuatiran, setidaknya bagi para aktivis dan lembaga pemerhati lingkungan.

Dalam laporannya, World Bank memperkirakan, produksi jumlah sampah plastik di dunia  mencapai 1,3 miliar ton setiap tahunnya. Angka itu akan terus bertambah hingga 2,2 miliar ton di tahun 2025 mendatang. Angka proyektif ini tentu saja kian mencemaskan.

Di Indonesia sendiri, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) volume sampah sebanyak 64 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang terbuang ke laut. Jumlah ini sekaligus ini menempatkan Indonesia di urutan kedua sebagai negara dengan volume sampah plastik di laut terbesar setelah China Tiongkok.

Pemerintah pun dibuat kelimpungan dengan tumpukan sampah plastik di laut ini. Karenanya, dalam dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanganan Sampah Plastik Laut Tahun 2018-2025, pemerintah menargetkan akan mengurangi sampah plastik di laut itu sebesar 70 persen pada 2025 dan pada 2028  sampah plastik dalam bentuk kemasan yang terbuang ke laut juga sudah berkurang hingga 30 persen.

Penyadaran dan kampanye tentang pentingnya pengurangan sampah plastik di laut itu berhembus ke seantero wilayah Indonesia, tak terkecuali di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Letak geografis Kota Palu yang secara topografi berada di serambi Teluk Palu menjadi sangat rentan dengan fenomenom sampah plastik di laut ini.

Sampah di Kota Palu

Tak dapat dipungkiri, urbanisasi juga melanda Kota Palu yang mengakibatkan jumlah penduduk semakin meningkat dan seperti yang dapat diguga, korelasinya positif terhadap prtumbuhan volume sampah.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palu dan juga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Palu menyebut, di 2010 ketika penduduk Kota Palu masih berjumlah 338 ribu jiwa, produksi sampah baru sekitar 129.699 ton. Namun 10 tahun kemudian ketika penduduk sudah mencapai 372 ribu jiwa, volume sampah sudah mencapai lebih dari 219 ribu m3.

Indikator ini menunjukkan, pertambahan jumlah penduduk secara langsung akan mendorong kenaikan volume sampah secara berlipat-lipat karena jumlah orang yang membuang sampah semakin bertambah. Hal ini akan menjadi persoalan tersendiri jika tidak tertangani dengan baik.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu menyebutkan, tidak semua sampah-sampah organic dan anorganic itu bisa tertangani. Keterbatasan armada pengangkut sampah yang hanya berjumlah 45 unit dan sebagiannya rusak adalah kendala utama untuk melayani seluruh wilayah Kota Palu.

Namun belakangan, Wali Kota Palu Hadiyanto A. Rasyid melakukan pengadaan armada sampah dan disebar ke setiap kelurahan yang ada dan melabelinya sebagai program “Palu Bersih”. Targetnya, meraih piala supremasi kebersihan lingkungan nasional, Adipura di 2024.

Tapi selesaikah masalah sampah di Kota Palu dengan terobosan itu?

“Sebagian iya, tapi sebagiannya lagi  tidak,” tegas Abdul Rahman, warga Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Senin (20/6/2022).

Iya katanya, kalau ukurannya adalah sampah terangkut. Tapi tidak jika disebut efektif. Bagaimana itu bisa terjadi? Karena armada sampah di setiap kelurahan itu menurutnya “membunuh” inisiatif-inisiatif positif dari masyarakat sekaligus mematikan usaha-usaha nonformal para pencari barang-barang bekas, terutama plastik.

Rahman memberi perbandingan, sebelum ada armada pengangkut sampah, selalu saja ada inisiatif masyarakat untuk paling tidak membersihkan lingkungannya yang sekaligus menjadi ajang silaturahim bagi warga yang ada di lingkungan itu. Namun setelah armada tersebut hadir, inisiatif seperti itu hampir tidak bisa ditemui lagi.

Inisiatif positif lainnya disampaikan Edy, warga Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat. Sebelumnya ada inisiatif warga secara berkelompok untuk mengelola sampahnya. Inisiatif itu dilakukan atas kesadaran terhadap lingkungan di wilayahnya. Warga secara gotong royong menyediakan bak sampah dan langsung memilahnya antara sampah organic dan anorganik dan bahkan mengolahnya menjadi kompos.

Tak itu saja, inisiatif mengelola sampah itu bahkan menyerap pemuda setempat sebagai tenaga kerja setempat dengan sistem upah dan memfasilitasinya dengan jaminan sosial asuransi kesehatan (BPJS). Namun itu tidak berlangsung lama karena warga lebih memilih menyerahkan sampahnya melalui armada yang pembayarannya dilakukan melalui pembebanan di rekening listrik sesuai besaran daya terpasang.

Lain lagi dengan Iksan, warga Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat. Sejak armada itu hadir dan mengangkut sampah-sampah langsung dari depan rumah-rumah warga, peluangnya untuk mendapatkan sampah plastik bekas semakin berkurang.

“Tadinya kita masih bisa mendapatkan plastik-plastik bekas dari Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Sementara, tapi sekarang tidak lagi karena sampahnya langsung diangkut ke Kawatuna (lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah,” tuturnya.

Padahal menurut Iksan, TPS Sementara yang ada hampir di tiap Rukun Warga (RW) menjadi salah satu tempat bagi pencari barang bekas untuk memilah-milah sampah plastik sebelum diangkut ke TPA.

Mekanisme penanganan sampah yang mengambil langsung sampah dari rumah-rumah warga tersebut tersebut berujung pada menggunungnya timbunan sampah di TPA Sampah Kawatuna, satu-satunya TPA Sampah di Kota Palu.

Jika pada 2021 lalu gunungan sampah hanya terlihat di sisi bagian Selatan TPA Sampah Kawatuna, kini gunungan itu bahkan sudah memenuhi sisi bagian Utaranya.

“Kalau ini terus berlangsung, maka TPA Sampah Kawatuna ini sebentar lagi akan overload atau tidak mampu lagi menampung sampah-sampah dari seluruh wilayah Kota Palu,” ujar Hakim, salah seorang warga Kawatuna, kecamatan Mantikulore.

Peningkatan gunungan sampah di TPA Kawatuna ini juga memicu pertambahan jumlah pemulung di kawasan itu. Kalau sebelumnya hanya mencapai angka 100-an, maka kini setidaknya sudah mencapai 200-an pemulung.

Pertambahan pemulung itu tidak lepas dari pola pengangkutan sampah yang tidak banyak lagi memfungsikan TPS yang ada di kelurahan-kelurahan. Pemulung yang tadinya beroperasi di TPS tersebut, kini beralih langsung ke TPA Kawatuna agar pulungan barang bekasnya bisa lebih banyak.

Meski demikian, kehadiran lebih dari 200-an pemulung itu juga berkontribusi bagi pengurangan sampah terutama jenis plastic. Setiap individu pemulung dapat mengumpulkan hingga 12 kilogram barang bekas berbahan plastic setiap harinya, atau seluruh pemulung itu mampu memilah plastic hingga 2,4 ton per hari. Pemulung-pemulung itu berkontribusi hingga 1,2 persen bagi pengurangan sampah plastik.

Dalam Dokumen Informassi Kinerja Pengelolaan Lingkugan Hidup (DIKPLH) Daerah Kota Palu Tahun 2020, pemerintah pun mengakui jika daya tampung TPA Sampah di kawatuna yang luasannya hanya sekitar 5 hektare semakin menipis akibat semakin banyaknya timbulan sampah.

Otokritik dari kedua warga tersebut membuat beberapa pihak mempertanyakan kembali volume sampah yang tertangani dan terbuang ke TPA Sampah Kawatuna yang sebelumnya diklaim hanya sekitar 30 persen dari timbulan sampah di Kota Palu yang terangkut ke TPA Sampah Kawatuna karena sebelumnya telah dipilah oleh warga, para pemulung dan Bank Sampah.

Di TPA Kawatuna juga memiliki problemnya sendiri, timbunan sampah kian menggunung sejalan dengan kian bertambahnya jumlah pemulung di kawasan tersebut. Pertambahan

Sampah Plastik di Teluk Palu

Secara administratif, Kota Palu terdiri 8 Kecamatan dan 46 kelurahan. Dari jumlah itu, 17 kelurahan di antaranya bersinggungan langsung dengan garis pantai Teluk Palu. Ke-17 kelurahan itu adalah Layana Indah, Talise, Tondo, Lere, Besusu Barat, Taipa, Mamboro, Kayu Malue, Kayu Malue Pajeko, Baiya, Pantoloan, Panau, Buluri, Silae, Tipo, dan Watusampu.

Potensi sampah plastik yang dibuang dari warga yang bermukim di wilayah garis pantai Teluk Palu itu jauh lebih besar dibanding dengan mereka yang bermukim di laur area tersebut.

Meski demikian, tidak berarti warga yang bermukim di luar 15 kelurahan tersebut tidak berkontribusi bagi sampah plastik di Teluk Palu. Warga yang bermukim di alur bantaran Sungai Palu yang bermuara di Teluk Palu kerap kali membuang sampahnya ke sungai dan hanyut hingga Teluk Palu.

Fakta kontribusi sampah plastik dari warga yang membuang sampahnya ke sungai lalu mengalir ke laut terlihat di Kelurahan Tatura Selatan. Bantaran sungai bahkan menjadi tempat sampah bagi warga sekitarnya. Belum lagi warga lainnya yang kerap dengan sengaja membuang sampahnya ke sungai di tiga jembatan Sungai Palu yang membelah Kota Palu.

“Masih banyak di antara kita yang tidak sadar soal arti lingkungan,” kata Mustakim, warga Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur.

Dr James Yosep Walalangi dalam tesisnya “Analisis Komposisi Sampah Organik dan Anorganik serta Dampaknya Terhadap Lingkungan Pesisir Kota Palu” yang diterbitkan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2012 menyebutkan, timbunan sampah di Kota Palu telah melebihi kapasitas pelayanan dan sarana pengelolaan sampah yang ada sehingga sampah menumpuk di tempat pembuangan sementara (TPS), dan di lokasi aliran sungai di sekitar permukiman penduduk yang akhirnya sampah-sampah tersebut sampai ke laut.

Dampak dari penumpukan sampah tersebut menyebabkan pendangkalan dan penyempitan badan sungai, banjir, menurunnya kualitas perairan, dan pada akhirnya akan berakibat pada menurunnya status kesehatan masyarakat yang bermukim di sepanjang muara sungai-sungai Kota Palu, serta menurunnya kualitas lingkungan pesisir.

James menyebutkan, semakin tinggi tingkat aktivitas manusia yang bermukim di Kota Palu, telah membawa masalah pencemaran laut di Teluk Palu, yaitu melalui pembuangan sampah di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Kota Palu yang bermuara ke laut. Hal ini dapat dilihat lewat timbunan sampah-sampah laut pada waktu air laut surut, baik itu pada bagian muara sungai maupun di sepanjang pesisir pantai Teluk Palu.

Environmental Health Risk Assessment (EHRA) dalam studinya di Kota Palu pada 2014 silam menyimpulkan perilaku pengelolaan sampah, yakni dibakar sebanyak 37 persen, dikumpulkan dan dibuang ke TPS sebesar 30 persen, dikumpulkan oleh pendaur ulang sebesar 11 persen, sisanya dibuang ke sungai sebanyak 7 persen, ke lahan kosong atau kebun 3 persen serta dibuang ke lubang dan di timbun sebesar 1 persen.

Jika sampah yang dibuang ke sungai dan mengalir ke laut sebesar 7 persen dari 219.087 m3 sampah keseluruhan di Kota Palu selama 2020, maka angka sebesar 15.336 m3 cukup signifikan untuk dapat mencemari pesisir Teluk Palu.

Bagaimana dengan volume sampah plastik di Teluk Palu? Sayangnya, tidak ada data yang tersedia untuk itu. Meski begitu, sejumlah lembaga dan akademisi telah melakukan penelitian tentang sampah palstik tersebut di Teluk Palu dan membuat kalkulasi perkiraan volumenya.

Dr James Yosep Walalangi dalam penelitian yang menggunakan teknik sampling mengungkapkan, ia menemukan sekitar 4,768 gram sampah plastik aneka jenis pada setiap meter persegi pesisir setiap hari di pantai Teluk Palu di wilayah Kecamatan Palu Timur, dan sekitar 709 gram di Kecamatan Palu Barat.

Angka itu dimungkinkan karena bentangan garis pantai di Kecamatan Palu Barat jauh lebih panjang dibanding di Kecamatan Palu Timur. Demikian pula tingkat kepadatan penduduk di Palu Barat sebanyak 6.077 jiwa per km2 jauh lebih padat dibanding Palu Timur sebanyak 5.958 jiwa per km2.

Seangle Indonesia Palu dalam sampling sampah di Pantai Dupa Teluk Palu pada 5 Juni 2022 menemukan setidaknya terdapat 2.382 pcs sampah aneka jenis pada area pengukuran sepanjang 150 meter dan lebar dua meter di garis pantai di wilayah itu.

Setelah ditimbang, pengukuran sampling sampah yang menggunakan metode BRIN x DCA itu mendapatkan sampah seberat 21,410 kilogram di sepanjang area pengukuran. Sampling yang dilakukan bersama Rumah Bahari Gemilang (Rubalang), Himpunan Mahasiswa Perikanan Untad (HIMARIN), dan Salolo Diving Club itu juga menemukan, 23,3 persen dari seluruh sampah tersebut berupa sampah plastik sekali pakai, di antaranya berupa kemasan plastik. Lebih mencengangkan lagi karena 20,4 persen adalah berupa Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).

Dari penelitian itu dapat digeneralisir bahwa jika garis pantai Teluk Palu sepanjang 57,12 kilometer, maka perkiraan volume sampah di Teluk Palu mencapai 244 ton per bulan atau sekitar 2.928 ton per tahun. Lebih spesifik lagi ke volume sampah plastik yang diproyeksi mencapai 56,8 ton per bulan atau sekitar 682 ton per tahun.

Teluk Palu Tercemar Sampah Plastik

Seangel Indonesia dalam Micro Plastik Hunting yang dilaksanakan pada 22 Februari 2020 mengambil sampel sampah plastik di area bekas terjangan tsunami, Pantai Talise, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur.

Beberapa sampel itu dikatagorikan dalam beberapa ukuran, yakni makroplastik dengan ukuran >25mm, mesoplastik 5−25 mm dan mikroplastik <5mm. Microplastik adalah jenis plastik yang terpapar oleh sinar matahari dalam kurun waktu tertentu sehingga berubah menjadi kepingan atau partikel yang berukuran kecil atau mikro, yaitu kurang dari 5 mm.

Dalam sampling berjarak empat meter dari garis pantai itu, mesoplastik yang ditemukan sebanyak 170 pcs.

“Sampel mesoplastik ini bisa digunakan sebagai acuan bahwa Pantai Talise sudah sangat tercemar plastik yang ukurannya <2.5 cm ini,” sebut Reny, salah seorang aktivis Seangel Indonesia.

Ini berbahaya menurutnya karena banyak nelayan yang menggantungkan hidupnya dengan menangkap lalu menjual ikan dari kawasan itu.

Temuan Seangle Indonesia Palu itu diperbarui dengan kegiatan yang sama pada 5 Juni 2022. Kali ini sampling sampah plastik dilakukan di wilayah Pantai Dupa, Kelurahan Layana Indah, Kecamatan Mantikulore, Palu. Pada sampel yang ditemukan di garis pantai berjarak 7,9 kilometer  dari muara sungai itu disimpulkan bahwa pesisir Teluk Palu telah tercemari sampah plastik, terutama sampah plastik katagori mesoplastik.

Pengambilan sampling sampah plastik dilakukan pada rentang panjang 150 meter pada jarak empat meter dari garis pantai. Seangle Indonesia Palu menemukan, pada rentang pengabilan sampel itu terdapat 2.382 pcs sampah yang terdiri dari 10 jenis, yaitu Keramik (25,9 persen); plastik sekali pakai (23,3 persen), Bahan Berbahaya dan Beracun atau B3 (20,4 persen, plastik daur ulang (12,7 persen), kaca (8,5 persen), logam (5,7 persen), tekstil (1,1 persen), kayu (1 persen), dan kertas (0,3 persen).

Sampah dalam bentuk plastik jenis sekali pakai dan daur ulang pakai adalah jenis sampah yang paling banyak, yakni mencapai 36 persen dari keseluruhan sampah yang ditemukan. Hasil ini kian mempertegas hasil temuan sebelumnya pada sampling sampah plastik yang dilakukan di Pantai Talise, Kelurahan Besusu Barat pada 22 Februari 2020 lalu.

“Artinya, Teluk Palu sudah kian tercemar sampah plastik dan tentu ini sangat mencemaskan karena dampaknya sangat berbahaya,” tegas Abizar Ghiffary, co founder Seangle Indonesia Palu, Minggu (3/7/2022).

Dalam Laporan Akhir Pemantauan Akhir Sampah Laut di Kota Palu Oktober 2020 yang diterbitkan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Palu dan disusun atas kerjasama dengan Pusat Penelitian Kelautan dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Tadulako dan Direktorat Pengendalian dan Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disebutkan, sampah laut di Pantai Baiya dan Pantai Mamboro didominasi oleh sampah plastik.

Komposisi sampah plastik dibanding kaca dan keramik yang ditemukan di Pantai Baiya berukuran makro masing-masing 72 persen dan 25 persen, sedangkan berukuran meso masing-masing 77 persen dan 22 persen. Di Pantai Mamboro, komposisi sampah tersebut tidak jauh berbeda baik makro maupun mesoplastik yaitu 60 persen dan 56 persen.

Berdasarkan volumenya, Laporan Akhir DLH Kota Palu itu juga menyebutkan jika di Pantai Baiya terdapat sekitar 4,64 gram sampah plastik berukuran makro pada setiap meter perseginya, sedangkan mesoplastiknya sebanyak 10,32 gram per meter perseginya. Di Pantai Mamboro ditemukan sampah makroplastik sebanyak 6,36 gram per meter persegi dan 6,44 gram mesoplastik di setiap meter persegi.

“Pantai Mamboro juga didominasi oleh sampah jenis busa plastik berukuran makro sebesar 1,92 gram per meter persegi dan ukuran meso sebanyak 1,8 per meter persegi,” tulis DLH Kota Palu dalam laporan tersebut.

Pada periode Agustus 2021, DLH Kota Palu Kembali melakukan pemantauan sampah laut di kedua kelurahan tersebut, yakni Baiya dan Mamboro. Hasilnya cukup mencengangkan karena persentase temuan sampah plastik semakin meningkat dari sebelumnya.

Pada laporan Agustus 2021 itu disebutkan, sampah plastik baik Pantai Baiya maupun Pantai Mamboro menunjukkan peningkatan dalam komposisinya. Di Pantai Baiya, sampah plastik jenis makro sebesar 76 persen sedangkan mesoplastik sebesar 51,5 persen. Di Pantai Mamboro persentase sampah plastik jenis makro mencapai 62,6 persen sedangkan jenis meso mencapai 67,9 persen.

Tingkat kepadatan macroplastik baik di Pantai Mamboro maupun di Pantai Baiya hampir sama, golongan macroplastik yang ditemukan terutama mencakup botol minuman kemasan, kemasan tissue, bungkus detergen, kemasan obat, pot plastik, popok, sikat gigi, odol, cotton bud, pembalut.

Keberadaan sampah palstik yang jumlahnya relatif cukup besar itu tidak lepas dari aktivitas masyarakat yang berdiam di sekitar pantai tersebut.

Meskipun baru berupa sampel, namun akumulasi sampah-sampah plastik di berbagai wilayah pesisir ini semakin menegaskan jika Teluk Palu yang cenderung dijadikan sebagai ikon wisata di Kota Palu sudah tercemar, terutama oleh sampah plastik jenis makro dan mesoplastik.

Khusus untuk jenis microplastik, masih harus ada pengukuran dan pengujian melalui laboratorium untuk bisa memastikan tingkat pencemarannya di Teluk Palu. Meski begitu, pengalaman di sejumlah negara yang telah lebih dulu melakukan pengujian di perairannya membuktikan jika sebuah perairan sudah tercemar oleh makroplastik dan mesoplastik, besar kemungkinan akan tercemar pula oleh jenis microplastik.

Sampah Plastik Kiriman

“Saya baru tahu kalau ada sampah kiriman di teluk Palu dari Kalimantan,” kata Tinus Siampa, Kepala Bidang Pengendalian, Pencemaran, Kerusakan, dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu, Jumat (1/7/2022).

Fenomena sampah kiriman di Teluk Palu memang tidak banyak yang tahu. Namun itu adalah fakta, setidaknya disebutkan oleh Dirsan, pengelola Bank Sampah Navoe di Kelurahan Taipa, Palu.

“Pada waktu-waktu tertentu, sekitar 80 persen sampah plastik yang diolah di Bank Sampah saya, itu diperoleh dari nelayan yang memungut sampah plastik dari laut. Sampah-sampah itu adalah sampah kiriman dari Kalimantan,” aku Dirsan.

Pengakuan Dirsan itu diperkuat oleh sejumlah nelayan yang ada di wilayah itu. Hasan misalnya, nelayan di Kelurahan Taipa mengaku lebih banyak mendapatkan sampah plastik di laut selama periode Oktober-November-Desember. Karena pada periode itu arus air di Teluk Palu berasal dari Utara yang membawa sampah-sampah tersebut.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Palu dalam sebuah diskusi yang dihadiri sejumlah stakeholder lingkungan di Palu juga menyinggung kemungkinan itu terjadi dengan melihat pergerakan arus di Teluk Palu.

Pola arus di Teluk Palu dipengaruhi oleh parameter pasang surut. Ini dapat diidentifikasi dengan pendekatan transformasi kekeruhan dan kecerahan perairan. Jika kekeruhan tinggi berarti pola arus pasang surut yang tinggi, demikian pula sebaliknya.

Selain itu, pola arus di Teluk Palu juga dipengaruhi angin terutama di bagian mulut teluk yang merupakan batas terbuka dengan Selat Makassar. Angin di Teluk Palu dominan berasal dari arah Utara dan Timur Laut, sehingga perubahan arah arus dan kecepatan arus di mulut teluk sangat variatif.

Pada Musim Barat (November-April) arus air di Teluk Palu bergerak dari Selat Makassar bagian Utara menuju Selatan memasuki Teluk Palu. Kecepatan arus itu akan makin meningkat seiring terjadinya proses pasang naik massa air. Sebaliknya akan bergerak dari huu menuju ke muara teluk atau dari arah Selatan ke Utara saat terjadi pasang turun massa air.

Parameter kecepatan arus dan tinggi gelombang memiliki kaitan dengan pergerakan sampah, khususnya sampah terapung. Kecepatan angin dan gelombang yang tinggi menyebabkan terjadinya pergerakan dan perpindahan sampah dari suatu wilayah perairan dan penumpukan atau pendaratan sampah pada wilayah pesisir pantai.

Indikasi ini menunjukkan bahwa masalah sampah termasuk sampah plastik yang ada di Teluk Palu tidak semata sebagai akibat dari perilaku warga setempat yang membuang sampahnya ke laut baik secara langsung maupun melalui Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara di Teluk Palu.

Perlu penelitian lebih lanjut tentang volume dan jenis serta katagori sampah kiriman untuk mengetahui besarannya dan kontribusi sampah kiriman itu terhadap pencemaran di Teluk Palu.

Efek Sampah Plastik di Teluk Palu

Sampah plastik diklaim sebagai salah satu penyebab utama perubahan iklim. Itu beralasan karena sejak proses produksi hingga tahap pembuangan dan pengelolaan, sampah plastik mengemisikan banyak gas rumah kaca ke atmosfer.

Plastik terbuat dari minyak bumi dengan proses mengubah komponen minyak bumi menjadi molekul kecil yang disebut monomer. Kegiatan memproduksi plastik membutuhkan sekitar 12 juta barel bahan baku minyak. Untuk mengubah minyak bumi menjadi monomer digunakan cara pembakaran. Dari metode inilah banyak gas rumah kaca diemisi ke atmosfer.

Sampah plastik di laut tak hanya mengancam ekosistem laut tetapi juga berefek pada manusia sebagai bagian dari subsistemnya. Sampah plastik yang mengotori laut secara perlahan membunuh spesies hewan dan tumbuhan laut.

Efek domino akan berlanjut ketika manusia mengonsumsinya. Kanker yang disebut sebagai pembunuh nomor dua di dunia setelah serangan jantung akan kian meningkat serangannya saat tumbuhan dan hewan laut terkontaminasi sampah plastik, dalam hal ini mikroplastik.

Selain karena ukurannya yang kecil dan sifatnya yang tidak mudah terurai, mikroplastik juga dinilai berbahaya sebab terdiri dari atom karbon dan hidrogen yang terikat bersama dalam suatu rantai polimer. Tak hanya itu, ada pula bahan kimia berbahaya lain seperti phthalate, polybrominated diphenyl ethers (PBDE), dan tetrabromobisphenol A (TBBPA), yang terlepas dari plastik saat diuraikan oleh lingkungan.

Mikroplastik dapat muncul sebagai residu pemakaian atau pembuatan produk, mulai dari kosmetik, pakaian sintetis, hingga kantong plastik dan botol. Ukurannya yang kecil membuat banyak orang tak menyadari bahwa limbah mikroplastik dapat masuk dengan mudah ke lingkungan.

Hasil penelitian sebagaimana dilansir doktersehat.com mengungkapkan bahwa setiap orang di muka bumi sudah pernah menghirup atau bahkan mengkonsumsi mikroplastik ini melalui makanan laut (seafood) yang telah tercemar, air minum, bahkan garam meja.

Dari hasil penelitian itu ditemukan bahwa seorang yang mengkonsumsi mikroplastik dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel pada tingkat tertentu yang berdampak pada perubahan hormon, kerusakan dinding sel, kematian sel, atau bahkan kerusakan organ tubuh dalam jangka panjang.

Peneliti juga menemukan fakta bahwa mikroplastik dapat menjadi faktor pemicu alergi. Tingkat keparahan alergi yang dialami oleh masing-masing orang akibat mengkonsumsi makanan maupun minuman yang tercemar mikroplastik mungkin berbeda-beda.

Mikroplastik yang tidak sengaja dikonsumsi dapat terbawa melalui aliran pembuluh darah hingga akhirnya terakumulasi dan tersebar ke seluruh tubuh. Beberapa partikel mikroplastik pun berpotensi melarutkan bisphenol A dan phthalate yang dapat menyebabkan gangguan hormonal.

Penelitian juga menunjukkan bahwa paparan bisphenol A dapat menurunkan tingkat kesuburan pada pria dan wanita. Sementara phthalate juga diketahui dapat menyebabkan gangguan hormonal, seperti penurunan kadar testosteron pada janin laki-laki.

Styrene adalah bahan kimia yang ditemukan dalam plastik dan umumnya digunakan sebagai kemasan makanan. Partikel mikroplastik yang dihasilkan dari proses penguraian styrene secara alami apabila tidak sengaja masuk dan terakumulasi dalam tubuh dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti masalah sistem saraf, gangguan pendengaran, hingga kanker.

Selain styrene, ada pula polychlorinated biphenyl (PCB) yang apabila terakumulasi dalam tubuh dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan seperti penurunan fungsi sistem imun, gangguan reproduksi, kanker, dan sebagainya.

Selain gangguan hormon, mikroplastik juga dinilai berbahaya bagi tubuh sebab dapat menyebabkan gangguan pada sistem endokrin yang bertugas untuk mengatur berbagai fungsi tubuh melalui pelepasan hormon, salah satunya untuk metabolisme. Ketika sistem endokrin terganggu, maka fungsi hormon yang dilepas juga akan terganggu. Akibatnya, tubuh akan mengalami pertambahan berat badan secara tiba-tiba.

Selain terakumulasi dalam tubuh, konsumsi mikroplastik secara tidak sengaja oleh ibu hamil juga dapat terbawa hingga melewati plasenta hingga akhirnya menyebar pada tubuh dan organ-organ janin yang sedang berkembang.

Parahnya, ada jenis mikroplastik tertentu seperti fire grade atau fire retardant  yang berdasarkan hasil penelitian dapat menyebabkan gangguan terhadap perkembangan otak janin serta mempengaruhi kecepatan perkembangan otak pada anak-anak.

Tak saja dalam jangka panjang akan membahayakan, dalam waktu singkat pun akan cukup membuat para nelayan dan warga di pesisir akan menderita. Sampah plastik itu menghambat pertumbuhan terumbu karang, membunuh mangrove yang menjadi tempat berkumpulnya kepiting, udang dan hewan laut lainnya.

Ikan-ikan yang seharusnya ditangkap oleh para nelayan akan makin menjauh sejalan dengan makin tergerusnya habitatnya, mangrove mati dan terumbu karang pun makin terkikis.

“Sejak mangrove ditanam kembali di sekitar Pantai Dupa, ikan-ikan mulai mendekat. Tadinya tidak ada warga yang datang menjala ikan di pantai ini, tapi setelah mangrove tumbuh kembali, warga sudah kembali datang menjala ikan,” aku Najib, pegiat Mangrove Teluk Palu.

Lebih spesifik lagi, Karman, seorang nelayan perairan dangkal yang sehari-harinya mencari lamale atau udang kecil di sekitar muara Sungai Palu mengungkapkan, keberadaan sampah plastik cukup mengganggu. Sampah plastik tidak hanya menghalangi udang kecil masuk ke dalam jaring perangkap, tetapi kerap kali juga merobek jaring yang digunakannya.

“Kalau sudah masuk di jaring, biasanya kalau ditarik untuk dikeluarkan, jaringnya jadi robek,” kata Karman.

Lebih dari itu kata Karman, sampah plastik terutama yang berukuran meso (2-5mm) menambah pekerjaan, karena jika bercampur dengan udang-udang kecil hasil tangkapan, maka harus dipisahkan lagi agar harga jualnya bisa lebih tinggi.

Inisiatif-Inisiatif Pengurangan Sampah Plastik

Peran aktif masyarakat adalah kunci utama agar masalah sampah plastik dapat ditanggulangi dan dampaknya dapat diminimalisir sekecil mungkin, demikian slogan yang selalu dikumandangkan oleh banyak pihak. Namun sejauh mana inisiatif-inisiatif positif itu bisa ditumbuhkan? Itulah persoalannya.

Perlu usaha keras untuk menumbuhkannya, tidak cukup dengan hanya supporting dalam bentuk anggaran atau kasarnya dalam bentuk dana semata, melainkan juga penyadaran bahwa sampah plastik terutama di laut memang harus dikurangi. Masyarakat harus selalu diberi motivasi dan mengingatkan tentang bahayanya di masa depan bagi generasi pelanjut.

Bank Sampah adalah salah satu insiatif positif yang dilakukan masyarakat untuk hal ini. Namun pada realitasnya, tak sedikit Bank Sampah yang saat peluncurannya demikian meriah, dihadiri petinggi ini, pejabat ini, tokoh itu, namun “mati” di tengah jalan.

Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Rencana Pebangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palu 2021-2026 menuliskan, sedikitnya terdapat 22 bank sampah di Kota Palu termasuk yang ada di sekolah-sekolah.

Namun setelah ditelusuri, tidak seluruhnya beroperasi, bahkan sebagian besar “mati suri”. Pandemi COVID-19 dituding sebagai penyebab utama bank sampah di sekolah-sekolah tak berjalan. Sekolah tatap muka ditiadakan hingga lebih dari dua tahun, dan praktis bank sampah tak bisa berjalan karena pemasoknya adalah kalangan siswa.

Lalu bagaimana dengan Bank Sampah yang dinisiasi oleh warga? Nyaris sama, tapi lebih beruntung karena di antaranya masih ada yang berjalan meski “terseok-seok”. Sebutlah Bank Sampah Navoe yang dikendalikan oleh Dirsan, warga Kelurahan Taipa, Kecamatan Palu Utara.

Bank Sampah ini mengoleksi sedikitnya 70-an kepala keluarga termasuk para nelayan di wilayah itu yang secara rutin menyetorkan sampah plastiknya ke Navoe, meskipun akhir-akhir ini berkurang menjadi sektiaran 40-an kepala keluarga.

“Kunci agar Bank Sampah itu bisa berjalan dengan baik adalah harus ada produk,” tandas Dirsan, Selasa (28/6/2022).

Bank Sampah menurutnya harus dapat menghasilkan produk dari sampah yang diterimanya dari warga. Produk itu kemudian dikembalikan kepada warga. Kasarnya, bank sampah harus punyai nilai lebih dan manfaat bagi masyarakat itu sendiri.

“Jadi bank sampah itu tidak boleh hanya focus pada transaksi plastik bekas, berapa beratnya, lalu ditimbang, kemudian dibayar sesuai nilainya. Tidak boleh seperti itu, karena kalu begitu, apa bedanya dengan pedagang di luar sana,” kata Dirsan yang juga pensiunan PT Merpati Nusantara Airlines ini.

Dirsan menunjukkan produk yang dihasilkan dari bank sampah Navoe yang dikelolanya, di antaranya Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis minyak tanah, bensin, dan solar. Ada pula produk kerajinan lainnya, termasuk bebatuan yang diperoleh dari limbah pabrik di wilayahnya.

Sayangnya kata Dirsan, ia bersama delapan anak muda warga setempat yang membantunya tidak bisa meningkatkan kapasitas produksi. Masalahnya pada mesin pengolah yang juga memiliki kapasitas terbatas.

“Untuk meningkatkannya, butuh modal besar, paling tidak sekitar Rp100 juta agar hasil produk BBM dapat menjangkau lebih banyak warga lagi,” sebutnya.

Modal itu diperuntukkan untuk membeli komponen mesin pengolah sampah plastik agar menjadi bahan bakar. Selama ini, bahan bakar yang dihasilkannya dijual Kembali kepada warga setempat dengan harga yang jauh berada di bawah harga BBM di pasaran.

Melihat hasil usaha bank sampah yang dikelolanya berjalan dengan baik dan bahkan memberi manfaat lebih kepada warga sekitarnya, ia mengaku pernah dijanjikan untuk dibantu oleh Wali Kota Palu, namun hingga tulisan ini dibuat, tidak kunjung ada realisasinya.

“Puncaknya beberapa waktu lalu pada saat elpiji 3kg itu sulit didaptkan, ibu-ibu pada datang ke sini mencari minyak tanah hasil produksi kami. Hanya Sebagian yang dapat kami layani karena produksi habis karena keterbatasan kapasitas,” akunya.

Belum lagi para nelayan yang saban pekan menyetorkan hasil pungutan sampah plastiknya di laut. Keberadaan bank sampah Naveo dinilainya sangat positif, karena cukup membantu ekonomi rumah tangga para nelayan.

“Kalau ikan kurang, ada plastik di laut yang bisa diambil untuk dibawa ke bank sampah,” kata Hasan, nelayan di wilayah itu.

Inisiatif-inisiatif masyarakat yang dicontohkan oleh Dirsan ini patut mendapat apresiasi. Sayangnya, tak banyak yang meliriknya meski nyata di depan mata tentang maslahat yang diberikan kepada warga sekitarnya.

Jika seluruh daerah pesisir Teluk Palu di 17 kelurahan yang bersinggungan langsung dengan pantai memiliki bank sampah seperti yang diteladankan oleh Bank Sampah Naveo, paling tidak di penelitian Seangle Indonesia berikutnya di pesisir Teluk Palu akan memberikan hasil yang kontras terhadap sampah plastik.

Dampak Kehadiran Bank Sampah

Bank Sampah yang ada di Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi mengaku, setiap bulannya bisa memilah sampah plastik hingga 1,5 ton dengan asumsi setiap warga di jangkauannya menyetorkan sampahnya yang telah dipilah.

Lebih besar lagi, Bank Sampah Navoe di Kelurahan Taipa berkapasitas hingga 5 ton setiap bulannya jika 40 kelapa keluarga yang selama ini menyuplainya dapat tetap secara rutin menyetorkan sampah plastiknya ke Bank Sampah itu.

Itu jika kondisi normal dan tidak ada pembatasan pergerakan akibat pandemic COVID-19. Namun dalam situasi seperti saat ini di mana Pembatasan Pergerakan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih berlangsung, angka setoran dan pengolahan sampah palstik praktis berkurang dari kapasitas Bank Sampah.

Tak terkecuali Bank Sampah yang dibentuk di sekolah-sekolah, praktis tidak bisa beroperasi lantaran pertemuan tatap muka ditiadakan dan kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring. Bank Sampah di sekolah-sekolah selama periode pandemi itu sama sekali tidak bisa memberi kontribusi bagi pemilahan dan apalagi mengurangi sampah plastik.

“Kalau situasinya normal, 8 orang tenaga bantuan di Bank Sampah ini semuanya bekerja, tapi saat pandemi seperti ini, ya paling 4 orang, itupun tidak paruh waktu,” aku Dirsan, pengelola Bank Sampah Navoe.

Dengan asumsi-asumsi seperti itu, dari 22 Bank Sampah di Kota Palu yang sebagian besarnya “mati suri” diperkirakan hanya bisa mengolah sampah plastik antara 30 hingga 40 ton per bulan. Dibandingkan dengan timbulan sampah di Kota Palu yang setiap harinya mencapai lebih dari 186 ton atau mencapai 5.580 ton setiap bulannya, maka kontribusi Bank Sampah hanya sekitar 0,54 persen.

Kontribusi sebesar 0,54 persen untuk pengurangan sampah tentu tidak cukup signifikan bagi sampah secara keseluruhan, karena Bank Sampah secara fungsional memang hadir tidak untuk mengurangi sampah namun lebih kepada fungsinya untuk memilah sampah.

Meskipun kontribusi itu terbilang realtif tidak besar, namun praktik-praktik ideal Bank Sampah seperti ditunjukkan oleh Bank Sampah Navoe memberi inspirasi positif untuk menekan laju pertumbuhan sampah, terutama sampah plastik.

Lebih dari itu, kehadiran bank sampah memberi pilihan positif untuk mengajak peran serta masyarakat terutama dalam memilah sampahnya. Sekecil-kecilnya kontribusi itu, warga yang memilah sampahnya ke dalam sampah plastik lalu disetorkan ke bank sampah, telah ikut memberi andil bagi upaya-upaya pengurangan sampah plastik.

Kehadiran bank sampah juga mendorong kemandirian ekonomi warga yang terlibat di dalamnya, paling tidak, sampah plastik yang dijual ke bank sampah telah menambah pundi-pundi keuangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Lebih jauh lagi di Kelurahan Taipa sebagaimana dipraktikkan Bank Sampah Navoe, sampah plastik yang distorkan oleh warga dikembalikan dalam bentuk produk BBM.

“BBM yang kita hasilkan sangat membantu warga terutama pada saat BBM sulit didapatkan di pasaran,” sebut Dirsan lagi.

Apa yang harus dilakukan?

Timbulan sampah bukanlah sekadar barang tidak terpakai, ia juga terkait dengan kebiasaan dan pola fikir warga. Sikap acuh tak acuh atau “masa bodoh” terhadap lingkungan adalah bagian yang paling sulit diubah pada sebuah proses pembangunan yang menuntut peran serta masyarakat.

Menjadi bijak juga jika persoalan sampah termasuk sampah plastik tidak semata disebut sebagai tanggungjawab sepihak dari pemerintah saja. Sebaliknya, semua pihak harus melibatkan diri untuk mengatasinya.

Karenanya, pola-pola penanganan sampah yang mengikutsertakan peran aktif masyarakat sangat diperlukan. Praktik-praktik penanganan sampah seperti telah ditunjukkan dalam pembahasan sebelumnya telah membuka mata, bahwa beberapa pola harus diubah.

Mengangkut sampah dari rumah tangga langsung ke TPA telah memangkas satu dari konsep 3 R (reduce, recycle, dan reuse) pengelolaan sampah. Sebelum sampai ke TPA, sampah-sampah tersebut harus mampir di TPS untuk memberi kesempatan bagi para pencari barang bekas melakukan pemilahan.

Sebelum ke TPS, rumah tangga harus melakukan pemilahan secara mandiri sampahnya, organic atau nonorganic, plastik dan nonplastik, recycle, serta reuse.

Pemerintah, khususnya Kelurahan yang wilayahnya bersinggungan langsung dengan garis pantai Teluk Palu seharusnya lebih peka terhadap fenomena buang sampah ke laut. Perlu penyadaran warga secara massif akan efek dari tindakan buang sampah ke laut tersebut.

Tak berarti pemerintah kelurahan yang wilayahnya tidak bersinggungan dengan Teluk Palu berdiam diri saja. Kontribusi sampah plastik di Teluk Palu nyata terpajang adalah juga bagian dari perilaku warga di luar pesisir yang membuang sampahnya melalui daerah aliran sungai dan bermuara di Teluk Palu.

Tak cukup dengan sanksi administratif, denda berupa hukuman adat seperti dicontohkan di Kelurahan Lere juga dapat ujicobakan.

Pemerintah pun harus selalu mendorong dan memfasilitasi inisiatif positif warga melalui pendirian bank sampah-bank sampah di daerah pesisir. Bank sampah yang memberi kontribusi positif bagi warga sekitarnya seharusnya diberi apresiasi sebagai daya dorong bagi bank sampah lainnya.

****

 *) Wartawan di rindang.id. Tulisan ini adalah hasil kerjasama fellowship dengan Yayasan Arkom Indonesia (YAI) Palu tentang perubahan iklim. Tulisan ini juga tayang di beritapalu.com

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *