SIGI, rindang.ID | Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Sigi, Sulawesi Tengah, mengembangkan inovasi aksesori fashion berupa tas dan dompet dari kain kulit kayu sebagai alternatif produk ramah lingkungan. Produk ini diharapkan dapat mengangkat nilai ekonomi kain kulit kayu yang selama ini hanya digunakan untuk kegiatan adat.
“Saat ini penggunaan kain kulit kayu masih bersifat sakral dan terbatas pada kegiatan adat atau upacara besar masyarakat setempat. Kain ini belum digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Nedya Sinintha Maulaning, Ketua Gampiri Interaksi Lestari.
Teknik pembuatan kain kulit kayu merupakan pengetahuan warisan turun-temurun masyarakat adat di wilayah dataran tinggi Kulawi. Bahan baku diperoleh dari pohon nunu atau pohon ivo yang tumbuh di kawasan hutan adat di Kulawi, kemudian diolah dengan cara direbus, difermentasi, dan dipukul-pukul menggunakan alat tradisional bernama ike.
Pengambilan bahan baku dilakukan secara terbatas dan berimbang, mengikuti kearifan lokal masyarakat adat untuk menjaga kelestarian hutan. Proses ini memastikan pemanfaatan sumber daya alam tetap selaras dengan prinsip keberlanjutan.
Nedya menjelaskan, berbagai upaya terus dilakukan untuk mengembangkan produk turunan yang lebih inovatif dan sesuai dengan tren pasar, sehingga dapat menarik minat anak muda untuk turut melestarikan tradisi ini. Pendekatan kolaboratif dan berbasis kewirausahaan sosial menjadi strategi untuk merangkul masyarakat adat secara lebih efektif.
Produk Lokal Lain Dukung Kelestarian Lingkungan
Selain dompet kain kulit kayu dari Sigi, berbagai produk lokal lainnya juga hadir sebagai alternatif ramah lingkungan di tengah meningkatnya kesadaran akan dampak industri fashion terhadap lingkungan.
Berdasarkan data PBB, industri fashion bertanggung jawab atas sekitar 8-10 persen emisi global, lebih tinggi dari gabungan industri penerbangan dan shipping. Global Fashion Agenda and McKinsey mencatat bahwa pada 2018, industri fashion di seluruh dunia menghasilkan lebih dari 2 miliar ton emisi gas rumah kaca.
Di bidang kecantikan, Sabun Citronella Sigi memanfaatkan sereh wangi yang ditanam masyarakat sebagai bagian dari penguatan ekonomi lokal program restorasi lahan pasca banjir bandang di Desa Pulu, Kecamatan Dolo Selatan. Produk yang dipasarkan dengan merek Tumbavani ini dikelola oleh BUMDes dengan melibatkan orang muda dan ibu rumah tangga setempat.
Dari Kalimantan Barat, Arcia memproduksi skincare menggunakan bahan alami seperti tengkawang, minyak kemiri, minyak kelapa murni, dan lidah buaya. Semua produk menggunakan kemasan yang dapat didaur ulang oleh bank sampah.
Sementara itu, Foresta mengembangkan minyak atsiri dari tanaman yang dibudidayakan melalui rustic agroforestry system di kawasan hutan yang dikelola masyarakat. Seluruh produk telah tersertifikasi Wildlife Friendly yang menjamin praktik produksi melindungi satwa liar dan keanekaragaman hayati.
Di bidang fashion, tenun ikat Dayak Iban dari Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menggunakan pewarna alam dari akar, kulit kayu, daun, bunga, dan buah-buahan hutan. Tas rajut noken khas Papua juga hadir dalam berbagai model modern dengan tetap mempertahankan nilai budaya tradisional.
Kehadiran produk-produk lokal ini menunjukkan bahwa konsumen dapat tetap tampil menarik tanpa merusak lingkungan, sekaligus mendukung ekonomi masyarakat lokal dan pelestarian budaya tradisional. (bmz)



