PALU, rindang.ID | Meski waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 Wita, namun penonton masih terus berdatangan, berdesakan di lorong sempit menuju bibir pantai tempat panggung Sintasloka berdiri di Kelurahan Tipo, Ulujadi, Palu, Selasa (5/11/2024).
Meski cukup sempit dan karenanya harus berdiri dalam keremangan penerangan, namun aura pentas seni dan budaya yang tampil tetap saja merasuk ke tiap-tiap diri warga yang hadir. Tak saja karena bernuansa hiburan, jubelan warga yang hadir itu, salah satunya karena lokasi acaranya tidak mainstream seperti umumnya pagelaran.
Deburan ombak tepat di belakang panggung memang tidak terlihat karena gelap dan tereduksi oleh gelegar sound system, namun animasi yang ditampilkan dalam backdrop menjadi daya pikat untuk dapat tetap bertahan dalam keberdirian menyimak setiap tampilan yang menghibur.
Ada kelompok Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Tavuvuri yang secara mengejutkan ‘menghinoptis’ pengunjung dengan tampilan lokalitasnya. Kelompok ini tak saja diapresiasi karena menjadi “tuan rumah” bagi kegiatan itu, namun pesan-pesannya cukup mendalam dan menyentak.
TBM Tavuvuri adalah kelompok masyarakat di Kelurahn Tipo yang menginisiasi upaya peningkatan literasi warga di sekitarnya. Berdiri sejak 2018 dan bahkan membangun TBM yang hingga kini belum tuntas. Seadanya, namun tetap berjalan pada komitmen berkelanjutannya, di lorong sempit itu.
Ada pula Tagdigrada, kelompok musik etnis asal Palu yang telah melanglang di berbagai penjuru Palu dan bahkan regional dan nasional. Mereka cukup piawai dan bahkan saat “Ranjuri” di suarakan, nyaris tak ada ‘gerakan tambahan ‘ pengunjung kecuali terkesima, hihihihi.
Mereka mendapat aplaus panjang tatkala berhasil menyelesaikan kolaborasi musiknya dengan nyanyian “Nompaoa” oleh warga setempat. Nompaoa adalah nyanyian pengantar tidur dalam ayunan bagi anak-anak di tempo doeloe. Sebuah rangkaian bunga menjadi hadiah indah dari kolaborasi apik itu.
Guritan Kabudul, sebuah kelompok musik bergenre folk tampil dalam rangakaian acara tersebut. Kelompok musik ini tak asing lagi di negeri asalnya, Tentena, Kabupaten Poso, bahkan lebih luas dari itu.
Guritan Kabudul yang malam itu diawaki dua personelnya, Riston Pamona alias Icong (vokal) dan Reymond Kuhe alias Emon (gitar) tampil paripurna. Keduanya tak sekadar bersuara soal Nyanyian-Nyaian Laut sebagaimana tema yang tertulis di panggung itu, namun juga menyampaikan pesan-pesan alam dalam setiap bait dan lirik lagunya.
‘Baik-baik Saja,” adalah lagu pamungkasnya. Lagu itu mengelaborasi kisah pilu kondisi Palu, Sigi, dan Donggala ketika terjadi bencana 28 September 2018 silam. Mereka tak dapat menyembunyikan kegundahannya pada saudara-saudara yang terdampak bencana. Lagu itu mengilhami betapa alam patut dijaga pada puncak kesadaran tertinggi.
Bahkan di salah satu lagu folknya, Guritan Kabudul dengan sengaja menampilkan animasi latar bertuliskan “No Music on a Dead Planet”, jangan berharap mash akan ada musik ketika planet sudah mati.
Pesan-pesan alam itu makin kuat ketika bergabung dengan The Indonesian Knowledge, Climate, Art & Music (IKLIM) bersama deretan musisi lainnya di tanah air. Duo ini makin sadar pentingnya menjaga lingkungan dan kelestariannya.
Panggung ekspresi musikal itu adalah bagian terakhir atau puncak dari tiga program acara yang digelar Forum Sudutpandang yang dikemas dalam acara bertajuk Sintasloka: Living on a Fault Art. Dua kegiatan sebelumnya sejak 26 Oktober 2024 digelar pameran berdiksi ‘Yang Kitorang Rasa Waktu Gempa’ dan presentasi publik di beberapa tempat di Palu.
Kegiatan ini disupport Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI sebagai bagian dari Pekan Kebudayaan Nasional (PKN). Sintasloka adalah kelanjutan dari PKN dengan kolaborasi bersama komunitas di berbagai daerah untuk mengimplementasikan fase perawatan dari metode aksi budaya yang telah dibangun. (bmz)