landskap kawasan industri nikel di Kabupaten Morowali. (Foto: Dok. KOMIU)
landskap kawasan industri nikel di Kabupaten Morowali. (Foto: Dok. KOMIU) landskap kawasan industri nikel di Kabupaten Morowali. (Foto: Dok. KOMIU)

Emisi Industri Nikel Bikin Angan-angan Transisi Energi Sebatas Mimpi, Udara Tercemar dan ISPA Nyata

PALU, rindang.ID – Alih-alih menggunakan sumber energi terbarukan, industri nikel hingga saat ini justru masih menggunakan PLTU yang berkontribusi pada pencemaran udara dan emisi karbon.

Hal tersebut memunculkan kontradiksi di tengah transisi energi dan dekarbonisasi yang dicita-citakan pemerintah Indonesia.

Laporan Global Energy Monitor (GEM) dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyebut dalam 10 tahun sejak 2013 jumlah PLTU captive yang menggunakan batu bara meningkat 10 kali lipat menjadi 117 unit pada tahun 2023.

Dari ratusan unit itu 67 persen adalah milik perusahan-perusahaan nikel yang menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan operasional dan produksi.

Menanggapi itu dalam talkshow ’Industri Nikel dan Tantangan Akselerasi Transisi Energi di Indonesia’ yang digelar di Kota Palu, Direktur Indonesia Cerah, Agung Budiono menilai ”karpet merah” untuk industri nikel membangun PLTU justri tidak sejalan dengan komitmen transisi energi pemerintah yang menarget net zero emisi pada 2060.

Talkshow dalam Konferensi Nasional Mineral Kritis yang digelar di Kota Palu, Rabu (9/10/2024). (Foto: Amar/ rindang.ID)

Pemerintah kata Agung tampak masih mengejar keuntungan ekonomi ketimbang perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat dari pencemaran udara akibat PLTU batubara.

Agung juga menyinggung target peningkatan ekonomi Indonesia hingga 8 persen oleh presiden terpilih selanjutnya yang berpotensi menambah kontribusi industri nikel pada pencemaran lingkungan. Sebab masifikasi produksi nikel berpotensi dibarengi dengan pembangunan PLTU-PLTU baru.

”Peraturan pemerintah masih mendukung pembangunan PLTU captive. Seharusnya PLTU captive dibatasi agar sejalan dengan semangat transisi energi,” Agung menegaskan dalam talkshow yang merupakan rangkaian Konferensi Mineral Kritis Indonesia, Rabu (9/10/2024).

Demi mewujudkan industri nikel yang bersih energi pemerintah bahkan disebut bisa memberi sanksi tegas kepada industri nikel yang tidak sejalan dengan upaya transisi energi.

Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat, Pius Ginting mengungkapkan pekerja dan masyarakat sekitar tambang lah yang akan terus menjadi korban industri nikel yang kotor itu.

”Mengeleminir perusahaan yang tidak punya agenda dekarbonisasi bisa menjadi upaya tegas. Perusahaan yang tidak bisa menghentikan PLTU patut disanksi,” kata Pius dalam talkshow yang sama.

PLTU captive sendiri adalah sumber energi yang dimiliki perusahaan tertentu untuk kebutuhan listriknya. Penggunaan batu bara pada PLTU tersebut mencemari udara karena terdapat partikel halus (PM2.5), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan ozon (O3), yang bisa menyebar menyebabkan penyakit pada manusia seperti ISPA dan bronkitis.

Pencemaran Udara hingga ISPA Nyata

Ketegasan pemerintah untuk menjalankan komitmen transisi energi menuju energi bersih terasa mendesak. Terlebih dengan dampak buruk pada kesehatan masyarakat dan lingkungan yang nyata yang diakibatkan penggunaan energi batubara.

Studi Riset oleh Transparansi untuk Keadilan (TuK) Indonesia bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulako (Untad) tahun 2023 menemukan kandungan zat berbahaya yang mencemari udara di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Bahodopi merupakan lokasi kawasan industri nikel terbesar di Asia yang menggunakan sumber energi batubara.

Riset itu mendapati konsentrasi PM10, PM2.5, dan SO2 jauh melebihi baku mutu aman di tiga desa sekitar kawasan industri tersebut yakni Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota.

Di Desa Faufia ditemukan konsentrasi PM10 49 ug/m3, Bahomakmur 107,75 ug/m3, dan Labota 27,2 ug/m3. Sementara PM2.5 yang ditemukan yakni 46,11 di Desa Fatufia, 23,8 di Desa Bahomakmur, dan 91,5 di Desa Labota.

Sedangkan pengukuran terhadap SO2 didapati nilai 288,497 ug/m3 dari tiga lokasi tersebut.

Tingginya pencemaran udara itu juga berbanding lurus dengan dampak yang dirasakan masyarakat sekitar kawasan industri nikel itu.

Puskesmas Bahodopi mencatat terjadi lonjakan penderita ISPA dari 13.081 penderita pada tahun 2020 menjadi 55.527 di tahun 2023.Fakta itu juga dibenarkan oleh pihak Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah.

“Jumlah penderita terus bertambah karena sekalipun sudah disembuhkan, warga bisa kembali menderita ISPA akibat kualitas udara yang buruh di sana. Bahkan dalam sebulan rata-rata ditemukan 10 penderita bronkitis baim anak-anak maupun orang dewasa,” kata Sukri, Staf Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Sulawesi Tengah.


Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top