Bunga Edelweiss di jalur pendakian Gunung Rore Kautimbu, Taman Nasional Lore Lindu. (Foto: Heri/rindang.ID)

Poso, rindang.ID | Bunga Edelweiss di Indonesia selama ini dikenal sebagai bunga yang menghiasi pegunungan pulau jawa. Namun siapa sangka pegunungan Sulawesi juga jadi habitat ‘Bunga Abadi’ tersebut, termasuk Sulawesi Tengah.

“Si putih yang mulia” begitulah pertama kali seorang naturalis Austria pada tahun 1785 menamai tanaman khas pegunungan itu; Edelweiss. Nama yang kemudian mendunia melintasi batas benua dan negara sebagai simbol cinta abadi dan kemurnian alam.

Keindahan, daya tahan terhadap kondisi pegunungan, dan keunikannya membuat beberapa negara di Eropa menjadikan tumbuhan itu sebagai ikon nasional.

Di Indonesia, Edelweiss pertama kali digunakan untuk menamai tanaman liar pegunungan berbunga putih dan bergerombol itu oleh naruralis Jerman, George Carl Reinwardt saat ia berada di Gunung Gede, Jawa Barat pada 1819.

Bunga Edelweiss di jalur pendakian Gunung Rore Kautimbu, Taman Nasional Lore Lindu. (Foto: Heri/rindang.ID)

Dia menemukan tanaman berbunga yang punya rupa dan tekstur mirip Edelweiss Eropa di gunung tersebut. Dari situ nama Edelweiss makin sohor terutama di Pulau Jawa, nama yang akhirnya lebih populer ketimbang penamaan lokal bunga itu; Senduro. Edelweiss pun diidentikkan dengan pegunungan Jawa.

Hingga kini pun tidak sedikit orang yang salah kaprah yang menganggap Bunga Abadi itu hanya tumbuh di pegunungan Jawa. Padahal habitatnya juga bisa ditemukan di beberapa gunung di luar Jawa termasuk di Sulawesi, salah satunya di Gunung Rore Kautimbu, Poso, Sulawesi Tengah.

Di gunung Taman Nasional Lore Lindu itu semerbak Edelweiss tercium sejak kaki gunung, sekitar 1.600 Meter di Atas Permukaan Laut (MDPL). Di beberapa titik jalur pendakian gunung dengan puncak tertinggi 2400 MDPL itu Edelweiss juga bisa ditemui.

Belum ada penilitian khusus tentang flora khas pegunungan itu di sekitar Rore Kautimbu. Namun rupa Edelweiss yang ditemui tim rindang.id, Sabtu (14/9/2024) di beberapa titik sekitar gunung itu punya kemiripan dengan jenis Anaphalis Longifolia, salah satu dari empat jenis Edelweiss yang hanya tumbuh di pegunungan-pegunungan Indonesia yakni Anaphalis Longifolia, Anaphalis Javanica, Anaphalis Maxima, dan Anaphalis Viscida.

Keberadaan Edelweiss di sekitar Gunung Rore Kautimbu sendiri tampak butuh upaya pelestarian dan perlindungan yang lebih serius. Di lokasi itu belum ada papan informasi tentang larangan dan aturan perlindungannya.

Bunga Edelweiss di jalur pendakian Gunung Rore Kautimbu, Taman Nasional Lore Lindu. (Foto: Heri/rindang.ID)

Padahal di Indonesia Edelweiss berstatus flora ‘Dilindungi’ berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Bahkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukannya ke dalam daftar ‘kritis’ akibat makin langkanya tanaman itu.

“Harus ada upaya serius lagi supaya Edelweiss di sini bisa tetap lestari. Apalagi ke Gunung Rore Kautimbu terbuka untuk pendakian,” kata Agus Sigalei, pegiat alam Sulawesi Tengah, Minggu (22/9/2024).

Bunga Edelweiss dapat mekar dalam waktu lama lantaran kandungan hormon etilem yang ada di dalamnya. Kandungan itu membuat bunga Edelweiss dapat bertahan mekar bertahun-tahun bahkan setelah dipetik.

Sifat yang bagi sebagian besar orang adalah simbol cinta abadi membuat tanaman itu menjadi buruan mereka yang tidak bertanggung jawab untuk menjadikannya koleksi, hadiah untuk yang terkasih, tersimpan di dompet, atau pelengkap dekorasi.

Padahal dengan sifat pengakaran kuat dan bergerombol flora yang satu ini punya peran penting mencegah erosi tanah, menciptakan mikro ekosistem seperti bagi burung dan berbagai jenis serangga jika dibiarkan lestari di ekosistem alami.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *