Suasana kelas 'mencari ide' dalam program Belajar Bersama, Bersuara, dan Berkarya dari Tongbasuara, Minggu (19/10/2025). (Foto: Tongbasuara)

Tongbasuara: Suara Anak Muda untuk Palu yang Tangguh

PALU, rindang.ID | Membangun resiliensi Kota Palu tak hanya soal memperkuat infrastruktur atau menata kembali ruang kota. Lebih dari itu, ketangguhan juga tumbuh dari bagaimana warga, terutama generasi muda menjadi bagian dari perubahan; berani bersuara, menulis, dan merekam kisah mereka sendiri.

Suasana Minggu siang (19/10/2025) di salah satu ruang Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Palu terasa hidup. Tiga kelompok yang masing-masing berisi lima hingga enam peserta tampak serius berdiskusi. Mereka berasal dari beragam latar: mahasiswa, pelajar, perwakilan komunitas, hingga pegiat lingkungan.

Semuanya masih muda, dengan semangat yang sama, yakni membicarakan ide tentang kota yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Setiap kelompok mengajukan angle cerita yang akan mereka garap; tentang lingkungan, tata ruang, dan inklusi sosial.

“Banyak praktik baik tentang pengelolaan sampah yang dilakukan anak muda, yang belum pernah diangkat menjadi cerita dan dipublikasi,” kata Nur Reformawati, peserta kegiatan tersebut.

Pertemuan ini merupakan sesi kedua setelah kegiatan pembuka sehari sebelumnya. Pada hari pertama, mereka mendapat pengantar tentang isu-isu kota berkelanjutan dan tangguh, sebagai bekal untuk merancang cerita yang relevan dengan wajah Palu hari ini.

Dua hari itu menjadi langkah awal bagi para peserta untuk memahami satu hal penting: menjadi muda juga berarti bertanggung jawab pada masa depan kotanya.

“Saya mewakili komunitas disabilitas, ingin mengangkat cerita kehidupan difabel di Kota Palu,” kata Sultan, peserta lainnya.

Dari Resiliensi ke Aksi Nyata

Usai bencana tahun 2028, resiliensi atau ketangguhan bagi Kota Palu tidak hanya kebutuhan, tapi juga fondasi pembangunan.

Semangat itulah yang melandasi program Tongbasuara, atau Youth Engagement for Palu Resilient City. Program yang diinisiasi oleh sejumlah komunitas, yayasan, dan jurnalis seperti AKAR, RUBALANG, dan Rindang.id ini dirancang untuk memperluas visi “Palu Resilien” melalui keterlibatan generasi muda.

Nama Tongbasuara berarti “kita bersuara”. Sebuah ajakan agar anak muda tidak hanya menjadi penonton, tetapi turut membangun narasi kotanya sendiri.

“Melalui jurnalisme dan karya digital, anak muda bisa membantu memperluas cara kita memandang kota dari bawah, dari suara mereka sendiri,” kata Intan dari Komunitas AKAR.

Belajar Membaca Kota dan Bercerita Kembali

Program Tongbasuara berlangsung selama enam bulan, dari Oktober 2025 hingga Maret 2026, dengan empat fase utama: kelas pembelajaran, pelatihan teknis, produksi kolaboratif, dan publikasi digital.

Tahap pertama dimulai dengan Kelas Urban Perspective, yang memperkenalkan peserta pada cara membaca dan menganalisis isu perkotaan. Mereka belajar menajamkan pandangan tentang kampung, ruang publik, dan kehidupan sehari-hari di Palu. Dari kelas ini lahir peta isu dan rancangan narasi awal yang akan dikembangkan lebih lanjut.

Tahap berikutnya, Workshop Citizen Journalism, membawa peserta pada praktik teknis: memotret ruang dengan framing yang kuat, menulis narasi, dan bercerita melalui video pendek. Pelatihan ini terbagi dalam tiga sesi yakni Basic Video Training, Photography Training, dan Narrative Writing.

Puncaknya, di fase Collaborative Production, para peserta turun ke lapangan untuk merekam kehidupan warga dan menyusun karya digital berupa foto esai, video pendek, dan peta narasi digital. Semua karya ini merefleksikan wajah Palu yang terus bergerak dan belajar bangkit.

Jurnalisme di Balik Proses Kreatif

Dalam keseluruhan proses, rindang.id berperan sebagai mitra utama dan mentor teknis. Tim Rindang.id tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga mendampingi peserta di lapangan, dari pengambilan konten hingga penyusunan narasi.

Mereka juga menyusun kurikulum jurnalisme warga, mengembangkan tools pendampingan, dan membantu peserta memproduksi karya digital berbasis warga.

Selain mentor utama, peserta juga mendapat wawasan dari Kelas AKAR Komunitas, yang mempertemukan pandangan dari berbagai pihak, mulai dari organisasi masyarakat sipil (CSO), pemerintah, hingga komunitas lokal. Di sini mereka belajar bahwa kota tidak dibangun oleh satu pihak, melainkan oleh ekosistem yang saling terhubung.

Membangun Narasi, Menyebarkan Inspirasi

Tongbasuara tak berhenti di ruang kelas. Karya-karya yang dihasilkan akan dipublikasikan melalui kanal digital termasuk website Rindang.id, sebagai bagian dari upaya membangun platform media warga untuk Palu Resilien.

Publikasi ini bukan sekadar dokumentasi, tetapi juga bentuk advokasi publik. Ia menjadi jendela bagi warga untuk melihat bagaimana anak muda membaca, merasakan, dan membayangkan kembali kota mereka.

Program Tongbasuara menegaskan satu pesan penting: kota yang tangguh adalah kota yang mau mendengarkan warganya, terutama generasi mudanya.

Seperti maknanya, Tongbasuara adalah tentang “kita yang bersuara” bersama, untuk Palu yang tak hanya bertahan, tetapi tumbuh dan belajar dari setiap peristiwa.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top