Hutan purba Ranjuri di Desa Beka, Sigi. (rindang.ID/basri marzuki)
Ilustrasi, hutan Ranjuri di Sigi. (©rindang.ID/bmz)

Deforestasi Global Melambat, tapi Indonesia dan Sulawesi Tengah Masih Hadapi Tekanan Serius

BALI, rindang.ID | Laporan Global Forest Resources Assessment 2025 (FRA 2025) yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dalam forum Global Forest Observations Initiative (GFOI) Plenary di Bali mengungkap bahwa laju deforestasi global telah menurun signifikan dalam dekade terakhir. Namun, tekanan terhadap ekosistem hutan tetap tinggi, terutama di negara-negara tropis seperti Indonesia.

FRA 2025 mencatat bahwa hutan dunia saat ini mencakup sekitar 4,14 miliar hektar, atau 32 persen dari luas daratan global, dengan hampir separuhnya berada di wilayah tropis. Laju deforestasi tahunan menurun dari 17,6 juta hektar (1990–2000) menjadi 10,9 juta hektar (2015–2025). Meski demikian, angka tersebut masih tergolong tinggi dan menjadi perhatian utama dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati.

Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu, menyebut FRA sebagai “evaluasi paling komprehensif dan transparan tentang kondisi dan pengelolaan hutan global,” yang mendukung kebijakan dan investasi berbasis ekosistem.

Tekanan Deforestasi di Indonesia

Di Indonesia, tren deforestasi menunjukkan gejala kemunduran. Menurut data Kementerian Kehutanan, deforestasi netto tahun 2024 mencapai 175.400 hektar, meningkat dari tahun sebelumnya. Laporan Forest Declaration Assessment (FDA) juga menyoroti bahwa Indonesia, yang sempat dipuji sebagai model perlindungan hutan, kini kembali menjadi sorotan karena kebijakan yang membuka ruang eksploitasi atas nama kedaulatan pangan dan energi.

Aktivis Forest Watch Indonesia (FWI) bahkan mendesak Jepang dan Korea Selatan menghentikan impor wood pellet dari Indonesia, yang dinilai mempercepat kerusakan hutan alam.

Sulawesi dan Ancaman Ekspansi Industri

Di tingkat regional, Sulawesi menghadapi ancaman besar dari proyek Sulawesi Palm Oil Belt, yang menargetkan pembangunan 1 juta hektar kebun sawit. Di Sulawesi Tengah sendiri, target ekspansi mencapai 300 ribu hektar, meski dinilai sulit tercapai oleh Dinas Perkebunan dan Peternakan Sulteng. WALHI Sulteng memperingatkan bahwa proyek ini berisiko memperburuk deforestasi dan pelanggaran hak masyarakat.

Tambang nikel dan pelepasan status kawasan hutan untuk kepentingan non-kehutanan juga menjadi pemicu utama hilangnya tutupan hutan di wilayah ini.

Kondisi Lokal Sulawesi Tengah

Menurut data Global Forest Watch, Sulawesi Tengah kehilangan 13.200 hektar hutan alam pada tahun 2024, setara dengan 10,1 juta ton emisi CO₂. Dalam sembilan tahun terakhir, lebih dari 425 ribu hektar hutan di Sulteng telah hilang, sebagian besar akibat ekspansi perkebunan dan pertambangan.

Harapan dan Tantangan

FRA 2025 mencatat bahwa lebih dari separuh hutan dunia (2,13 miliar hektar) kini berada dalam rencana pengelolaan jangka panjang, dan sekitar 20 persen telah ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun, gangguan seperti kebakaran, penyakit, dan cuaca ekstrem masih memengaruhi ratusan juta hektar setiap tahun.

Indonesia dan Sulawesi Tengah menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan perlindungan ekosistem. Tanpa jaminan deforestasi yang ketat, Indonesia berisiko gagal mencapai target net zero emission (NZE) 2060.

Laporan FRA 2025 menjadi pengingat bahwa perlindungan hutan bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga fondasi bagi ketahanan pangan, energi, dan keberlanjutan sosial-ekonomi global. (bmz/*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top