PALU, rindang.ID | Tahun 2025 ini refleksi Hari Bumi menjadi semakin relevan, khususnya bagi kita di Sulawesi Tengah, yang tengah menghadapi tantangan serius terkait degradasi lingkungan, kerusakan daerah aliran sungai, dan eksploitasi sumber daya alam yang massif.
Saban 22 April, dunia merayakan Hari Bumi sebagai pengingat bahwa bumi bukan warisan yang bisa dieksploitasi, melainkan titipan yang harus dijaga.
“Kita bukan terpisah dari alam, kita adalah bagian dari alam, dan merusak alam berarti merusak diri kita sendiri.” kata tokoh lingkungan, Vandana Shiva.
Kutipan ini menjadi cermin penting bagi kita di Sulawesi Tengah. Kerusakan yang kita saksikan bukan sekadar statistik, tapi ancaman nyata bagi kehidupan masyarakat.
Ada yang bilang Sulawesi Tengah adalah tanah yang diberkahi: hutan tropis yang masih alami, sungai-sungai yang mengalir jernih, pegunungan dan lembah yang menyimpan kehidupan. Namun di sisi lain, kita juga menyaksikan luka yang makin terbuka lebar.

Mengutip data Walhi Sulteng, Hingga tahun 2024, tercatat sebanyak 113 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel telah terbit di Sulawesi Tengah, tersebar di empat kabupaten: Morowali, Morowali Utara, Banggai, dan Tojo Unauna. Ratusan IUP ini memakan lahan seluas 259.847 hektare dan sebagian besar mengubah hutan menjadi area pertambangan.
Data AURIGA mencatat bahwa dalam periode tahun 2000 hingga 2022, sebanyak 72.955 hektare hutan di Sulteng hilang akibat aktivitas pertambangan nikel.
Selain industri nikel, terdapat pula pertambangan emas dan batuan yang turut memberi tekanan besar pada lingkungan. Yayasan KOMIU mencatat, hingga April 2024 terdapat sekitar 800 sebaran izin usaha dan IUP mineral logam di wilayah Sulawesi Tengah.
Bumi yang Tercekik, Udara yang Mencekik

Akibat akumulasi tekanan ini, kondisi ekologis Sulawesi Tengah kini kian rapuh. Stasiun Pemantau Atmosfer Global Lore Lindu Bariri melaporkan bahwa residu industri seperti debu dan emisi karbon telah menyebabkan kenaikan suhu rata-rata sebesar 1,1 derajat Celsius.
Di Kota Palu, kenaikan suhu ekstrem pernah mencapai 39,7 derajat Celsius, angka tertinggi dalam sejarah Kota Palu dan diperkirakan rekor suhu akan terus berulang di masa depan.
“Tindakan manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan pembabatan hutan mengubah iklim kita,” kata Kepala SPAG Lore Lindu Bariri, Asep Firman Ilahi Asep.
Dampak Nyata, Bencana Nyata

Kerusakan lingkungan telah memicu bencana hidrometeorologi secara masif.
BPBD Sulawesi Tengah mencatat adanya peningkatan signifikan bencana banjir dan longsor terutama di wilayah yang terdampak perambahan dari tahun ke tahun.
“Pada tahun 2023 terjadi 136 kejadian bencana, sementara tahun 2024 melonjak menjadi sekitar 200 kejadian, Kepala Pelaksana BPBD Sulteng, Akris Fattah Yunus mengatakan kepada rindang.ID pada Oktober 2024 lalu.
Bahkan di jantung provinsi ini; Kota Palu, kerusakan tampak kasat mata. Di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Poboya, yang dikepung oleh aktivitas tambang emas, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu-Poso mencatat dari total 7.661,94 hektare luas DAS tersebut, 406,10 hektare sudah berstatus sangat kritis dan 70,90 hektare berstatus kritis.

Hanya sekitar 444,17 hektare lahan yang tercatat masih dalam kondisi baik.
“DAS Poboya adalah DAS yang langsung mengarah ke laut makanya berbahaya kalau tidak dijaga,” Kata Sumarman, Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi BPDAS Palu-Poso.
Saatnya Bertanya dan Peduli
Refleksi Hari Bumi 2025 menjadi momentum penting untuk bertanya: sampai kapan bumi Sulawesi Tengah akan dijadikan ladang ekstraksi tanpa batas Sampai kapan pembangunan mengorbankan keberlanjutan?

Saat hutan dibabat, sungai dikeruk, dan udara dipenuhi debu tambang, bukan hanya alam yang terluka, tapi juga masyarakat adat, petani, nelayan, dan generasi muda yang kehilangan ruang hidup dan harapan masa depan.
Kita butuh gerakan kolektif antarwarga, pemerintah daerah, aktivis, tokoh adat dan agama, dan jurnalis untuk memastikan bumi ini tetap layak huni.
Sebagaimana pesan bijak para tetua: “Tanah yang dijaga akan menjaga kita. Air yang disucikan akan menyucikan hidup kita.”
Hari Bumi 2025 bukan hanya hari untuk peduli, tetapi hari untuk bangkit. Sulawesi Tengah adalah rumah kita. Jika bukan kita yang menjaga, siapa lagi?