NTT, rindang.ID | Larangan-larangan seperti, “Ei, kamu jangan pergi ke tempat itu. Itu sakral, keramat,” atau “Jangan mengambil ini atau itu,” sering kali terdengar di berbagai komunitas adat. Kalimat-kalimat ini bukan sekadar mitos atau kepercayaan kuno, tetapi memiliki makna yang lebih dalam, yaitu menjaga keberlanjutan dan keseimbangan lingkungan.
Prinsip keadilan antargenerasi telah lama diterapkan dalam kehidupan masyarakat adat, menunjukkan bahwa keberlanjutan bukanlah konsep baru bagi mereka. Nilai ini telah tumbuh dan hidup di tengah masyarakat.
Di Wolowea, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, masih terdapat tradisi menjaga hutan bambu di sekitar jembatan adat yang terbuat dari bambu. Hingga kini, larangan mengambil bambu dari wilayah ini masih dihormati.
Betho Pie (bambu yang dilarang) hanya digunakan untuk kepentingan pembuatan jembatan adat bambu yang dikerjakan setiap tahun dalam komunitas adat Wolowea. Betho Pie ditanam oleh leluhur, dirawat, dan digunakan hanya untuk pembuatan Phada Bheto (jembatan adat bambu).
Suku Wolowea terletak di Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, NTT. Dari Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT, perjalanan ke Wolowea dapat ditempuh dengan pesawat menuju Bandara di Kabupaten Ende, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Kabupaten Nagekeo.
Jembatan adat bambu yang dibangun setiap tahun ini dinamai Kolo Ego, yang membentang sepanjang kurang lebih 30 meter di atas Kali Loco Labo, menghubungkan kampung-kampung di Wolowea. Pembangunan jembatan ini atas gotong royong dan kerja sama antarsuku di Wolowea.
Pembangunan jembatan ini juga sebagai tempat yang akan di lalui anggota suku menuju menuju syukuran akhir yang sebut Zoka di Kampung Wolowea. Menurut warga setempat, pembangunan jembatan adat bambu berpegang pada prinsip gotong royong. Hal Ini menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, bukan sekadar konsep baru yang diperkenalkan oleh modernisasi.
Pengalaman dari Suku Wolowea memberikan pelajaran bahwa budaya dan lingkungan dapat saling menguntungkan. Bambu ditanam untuk memenuhi kebutuhan budaya Suku Wolowea, sementara di sisi lain, bambu juga memberikan manfaat ekologis.
Bambu dapat menyerap karbon di udara, menyimpan air, serta mencegah longsor.
Menurut Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) penelitian menunjukkan bahwa bambu memiliki daya serap karbon yang tinggi, berkisar antara 16 -128 ton karbon per hektar. Jika dikelola dengan baik, bambu dapat membantu mengurangi emisi karbon hingga 35 persen.
Namun, dalam konteks zaman sekarang, nilai kebudayaan dan larangan tradisional kadang kala dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan. Kemajuan zaman membawa tantangan tersendiri, di mana nilai-nilai lokalitas sering diabaikan, padahal memiliki manfaat besar bagi lingkungan dan keberlanjutan.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kritis untuk mempertahankan nilai-nilai yang telah lama menjaga keseimbangan ekosistem.
Dalam konteks pemerintahan, konsep keberlanjutan juga menjadi perhatian utama, sebagaimana tercermin dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Pemerintah berupaya memastikan bahwa pembangunan yang direncanakan harus memperhatikan keberlanjutan agar dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
Hal ini sejalan dengan praktik konservasi lingkungan yang telah lama diterapkan dalam komunitas adat.
Selain peran pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga memiliki kontribusi penting dalam mengorganisir masyarakat agar terus berpikir kritis. Seperti yang dikemukakan oleh John Tan dan Roem dalam bukunya Mengorganisir Rakyat: Refleksi Pengalaman Pengorganisasian Rakyat di Asia Tenggara, pengorganisasian masyarakat melibatkan beberapa tahapan, yaitu memulai pendekatan, memfasilitasi proses, merancang strategi, mengerahkan tindakan, menata organisasi, dan membangun sistem pendukung.
LSM berperan dalam mendukung masyarakat agar terus berkembang dalam proses yang berkelanjutan.
Dalam konteks pelestarian lingkungan dan nilai budaya, pengorganisasian semacam ini sangat diperlukan. LSM dapat berperan dalam mendokumentasikan serta mengarsipkan pengetahuan lokal yang mengandung nilai keberlanjutan, sekaligus menghidupkan kembali praktik-praktik yang mulai pudar.
Dengan melakukan pendampingan terhadap komunitas adat, membangun sistem pendukung, serta mendorong tindakan kolektif, diharapkan kesadaran kritis masyarakat dalam menjaga nilai-nilai keberlanjutan dapat terus tumbuh dan berkembang.
Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana memastikan nilai-nilai keberlanjutan dalam komunitas adat tetap hidup dan dapat terus diwariskan. Diperlukan upaya kolaboratif antara masyarakat adat, pemerintah, dan pihak terkait lainnya agar tradisi yang mengandung nilai-nilai keberlanjutan tetap berkontribusi dalam menjaga lingkungan dan keseimbangan ekosistem di masa depan.
Penulis: Jurusland Djiwa Rangga – pandu bambu nagekeo
Tulisan ini dibuat di sela kesibukan di desa—dari pandu bambu nagekeo.