Sayangnya, keong darat seolah terabaikan dalam perbincangan publik seputar pelestarian kehidupan liar. Tak banyak pula peneliti, penjelajah, dan naturalis Indonesia yang memerhatikan kelompok spesies ini.
KEONG darat (land snail) adalah kelompok hewan yang berperan penting bagi kesuburan tanah.
Hewan ini dapat memperkaya kandungan nitrogen dan senyawa organik pada tanah, didukung oleh kebiasaannya memakan bahan organik. Mereka adalah spesies pengurai yang efektif, bersama dengan kelompok cacing dan jamur.
Kebanyakan kita mungkin mengenali keong darat sebagai bekicot. Padahal, bekicot—yang sebenarnya berasal dari Afrika Timur—hanya satu dari 263 spesies keong darat di Jawa dan lebih dari 1.800 spesies di gugus kepulauan Indo-Australia. Bekicot adalah keong darat, tetapi keong darat belum tentu Bekicot.
Keong darat sebetulnya dapat kita temukan di berbagai lanskap: hutan hujan, pertanian, karst, dan dataran tinggi maupun rendah. Kebanyakan keong dalam kelompok ini memiliki cangkang, meski ada juga yang tidak.
Sayangnya, keong darat seolah terabaikan dalam perbincangan publik seputar pelestarian kehidupan liar. Tak banyak pula peneliti, penjelajah, dan naturalis Indonesia yang memerhatikan kelompok spesies ini.
Sebagai ilmuwan malakologi, bidang ilmu yang mempelajari kehidupan moluska seperti keong, kami ingin menekankan bahwa lika-liku keong darat penting untuk kita ketahui. Eksplorasi keong darat di Indonesia, berdasarkan catatan sejarah, sudah berlangsung sejak tiga ratus tahun silam.
Kami memfokuskan artikel ini untuk mengulas ekspedisi yang berlangsung di Wallacea, kawasan dengan kekayaan hayati luar biasa, membentang dari Lombok hingga Kepulauan Maluku.
Catatan awal eksplorasi keong darat
Catatan ekspedisi keong darat terawal di Wallacea diterbitkan oleh seorang naturalis asal Jerman, Georgius Everhardus Rumphius. Ia dipekerjakan oleh Perusahaan Perdagangan India Timur atau VOC.
Dalam studinya yang berjudul D’amboinsche Rariteitkame (Koleksi dari Ambon), Rumphius mencatat 1.200 flora dan fauna di Maluku, termasuk beberapa spesies keong darat seperti Cochlea terrestris yang kemudian dikenal dengan nama Xesta citrina. Hasil penjelajahan Rumphius terbit pada tahun 1705, atau tiga tahun setelah ia meninggal dunia.
Pada 1861 naturalis asal Jerman, Carl Georg Ludwig Pfeiffer (dikenal sebagai Louis Pfeiffer) menerbitkan 47 spesies keong darat dari koleksi Hugh Cuming Esq., kolektor asal Inggris. Cuming mendapatkan koleksinya dari perjalanan seorang naturalis masyhur asal Inggris, Alfred Russel Wallace—pencetus gagasan kawasan Wallacea—di Kepulauan Nusantara selama 1854-1862.
Pada 1865, Wallace turut menerbitkan artikel di Proceeding of the Zoological Society of London seputar 125 spesies keong darat yang dia kumpulkan di Kepulauan Nusantara. Dalam artikel tersebut, Wallace melengkapi deskripsi spesies, informasi sebarannya, dan beberapa gambar.
Seperti pada kebanyakan fenomena distribusi fauna lainnya, Wallace juga menemukan pola distribusi yang unik pada keong darat. Lebih dari dua pertiga spesies yang ditemukan hanya terekam pada pulau-pulau tertentu. Selain itu, terdapat perbedaan yang jelas antara keong darat yang terdistribusi di area Indo-Malaya dengan area Austro-Malaya.
Selain nama-nama di atas, riset seputar keong darat di Indonesia pada abad 19 diperkaya oleh karya-karya ilmuwan barat lainnya seperti André Étienne d’Audebert de Férussac dari Perancis, William Doherty asal Irlandia, Alfred Hart Everett dari Inggris, Eduard von Martens, dari Jerman, Heinrich Zollinger dari Swiss, dan sebagainya.
Abad 20 hingga sekarang
Pada abad 20, ulasan dari para ilmuwan banyak berfokus pada penemuan spesies keong darat di Indonesia. Misalnya, ekspedisi Siboga yang dipimpin oleh Max Carl Wilhelm Weber, Direktur Museum Zoologi Amsterdam, selama 1899-1900. Weber adalah salah satu naturalis penting penggagas konsep kawasan biodiversitas khusus di sepanjang Maluku hingga Timor Leste—dikenal dengan garis Weber.
Ekspedisi penting pada era tersebut dilakukan Karl Friedrich (Fritz) Sarasin dan sepupunya, Paul Benedict Sarasin ke Sulawesi. Pada tahun 1899 mereka mempublikasi temuan 198 spesies keong darat hasil ekspedisinya di Pulau Sulawesi.
Ekspedisi penting lainnya dilakukan oleh Bernhard Carl Emmanuel Rensch ke kepulauan Sunda Kecil pada tahun 1927. Ia berhasil mendata spesies keong darat dari Bali (32 spesies), Lombok (9 spesies), Sumbawa (19 spesies), dan Flores (27 spesies).
Walaupun tidak melakukan ekspedisinya sendiri, Woutera (Tera) Sophie Suzanna Van Benthem Jutting, Malakologist Belanda yang lahir di Batavia, juga menelaah keong darat dari kawasan Walacea yang dikoleksi oleh banyak penjelajah. Setidaknya terdapat 125 spesies keong darat yang tercatat di Maluku dari publikasinya.
Pada abad 21, sejumlah ekspedisi keong darat di Wallacea juga dilakukan ahli Malakologi Indonesia. Misalnya, pada Ekspedisi Sumba yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Nova Mujiono dan Nur Rohmatin Isnaningsih mengoleksi 44 spesies keong darat dan sungai di pulau Sumba.
Pada 2022, kami melakukan ekspedisi keong darat di Maluku Utara yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang dikoordinatori oleh penulis kedua. Berdasarkan ekspedisi tersebut, kami menemukan satu spesies baru Palaina motiensis dari Pulau Moti. Ada juga setidaknya delapan kandidat spesies baru dari Pulau Ternate, Pulau Bacan, dan Pulau Morotai.
Walau begitu, ekspedisi kami turut menyoroti beberapa spesies yang ditemukan oleh Wallace belum dapat ditemukan kembali. Ada dua kemungkinan mengapa hal ini dapat terjadi: (1) Lokasi pengambilan sampel yang kami tidak sama dengan Wallace, atau (2) Lanskap lokasi pengambilan sampel sudah berubah dan spesies tersebut sudah punah.
Melampaui penemuan spesies
Keong darat merupakan kelompok fauna yang rentan punah. Spesies ini bergerak sangat lambat. Ia juga sangat rentan terhadap kekeringan. Keduanya juga menjadi faktor penyebab beberapa spesies keong darat memiliki daerah sebaran yang terbatas atau dikenal dengan spesies endemik.
Sayangnya, hingga saat ini, belum ada spesies keong darat yang masuk ke dalam daftar satwa dilindungi di Indonesia. Hanya sebagian kecil dari spesies ini yang berada dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
Padahal, spesies ini banyak menghadapi ancaman seperti kehilangan habitat akibat perubahan tata guna lahan dan penambangan, dan keberadaan spesies asing invasif.
Walau begitu, beberapa upaya telah dilakukan beberapa pihak di Indonesia untuk menghadapi kendala-kendala tersebut. Misalnya, Masyarakat Moluska Indonesia, gerakan lintas kelompok yang gencar melakukan penyadartahuan melalui Buletin Moluska Indonesia dan Jurnal Moluska Indonesia.
Upaya yang tidak kalah pentingnya adalah mencetak generasi penerus pemerhati dan peneliti terutama keong darat. Selain bekerja sama dengan beberapa universitas, kami juga memanfaatkan platform untuk mencetak taksonom baru keong darat melalui Bantuan Riset Tugas Akhir (Barista), Research Assistant (RA) dan lain-lain.
Dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada Agustus lalu, Indonesia memiliki misi pengelolaan keanekaragaman hayati melalui perlindungan, pemanfaatan berkelanjutan, pengayaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penguatan sumber daya dan tata kelola. Hal tersebut untuk mencapai visi hidup selaras dengan alam untuk keberlangsungan seluruh bentuk kehidupan di Indonesia.
Seluruh strategi rencana aksi di atas perlu mencakup tujuan pelestarian populasi fauna endemik Indonesia termasuk keong darat di Wallacea.
Vinna Windy Putri, Post-doctoral Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Ayu Savitri Nurinsiyah, Researcher in the Research Center for Biosystematics and Evolution BRIN; President of Indonesian Mollusk Society, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.