SIGI, rindang.ID | Tumbuhan air mengapung bernama eceng gondok (Pontederia crassipes) kini menjadi “pesaing” baru bagi nelayan pencari ikan di Danau Lindu, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Bagaimana tidak! kehadiran tumbuhan merambat itu sejak dua tahun terakhir ini kian melebar dan menghiasi setiap sisi pantai seluas 38,88 kilometer persegi luas Danau Lindu.
Tak sedikit nelayan yang sehari-harinya mencari ikan di danau itu yang menggerutu. Pukat yang dipasang kerap kali tersangkut di tanaman yang pertama kali ditemukan Friedrich Phillip von Mattus pada 1824 itu.
Tak itu saja, penyebaran tanaman bernama ilung-ilung di Manado ini menghambat para nelayan saat hendak menambatkan perahunya ke pantai. Luasan penyebaran eceng gondok ini “merampas” jalur masuk perahu ke pantai.
“Saya tidak tahu bagaimana awalnya sehingga eceng gondok ini ada di Danau Lindu. Padahal sebelumnya, tidak ada,” kata salah seorang nelayan di Desa Tomado, Jumat (6/9/2024).
Ia mencurigai, kehadiran eceng gondok yang dianggap sebagai pengganggu itu terjadi ketika dilakukan penebaran bibit ikan ke dalam danau.
“Mungkin saat bibit itu ditebar ke danau, ada bibit eceng gondok yang ikut,” duganya.
Pertumbuhan eceng gondok itu kini semakin tak terkendali. Menurut nelayan setempat, hampir tidak ada lagi pantai yang tidak terkooptasi dengan tumbuhan tersebut, mulai dari pesisir danau di Desa Anca hingga Desa Puroo.
“Beberapa kali sudah dilakukan kerja bakti untuk mengangkat eceng gondok itu, tapi tidak lama setelah itu muncul kembali,” sebutnya.
Dikutip dari Wikipedia, sejumlah efek negatif yang ditimbulkan jika eceng gondok dibiarkan antara lain meningkatnya evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman), karena daun-daunnya yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat.
Eceng gondok juga menyebabkan menurunnya jumlah cahaya yang masuk kedalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air.
Tumbuhan eceng gondok yang sudah mati akan turun ke dasar perairan sehingga mempercepat terjadinya proses pendangkalan.
Bagi nelayan, eceng gondok dinilai sangat mengganggu lalu lintas (transportasi) air, khususnya bagi masyarakat yang kehidupannya masih tergantung dari danau.
Eceng gondok juga dapat memicu meningkatnya habitat bagi vektor penyakit pada manusia dan juga menurunkan nilai estetika lingkungan perairan.
Walaupun eceng gondok dianggap sebagai gulma di perairan, tetapi ia juga berperan dalam menangkap polutan logam berat. Rangkaian penelitian seputar kemampuan eceng gondok oleh peneliti Indonesia antara lain oleh Widyanto dan Susilo (1977) yang melaporkan dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur.
Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g, dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain. Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen.
Selain dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap residu pestisida. (bmz)