JAKARTA, rindang.ID | Analisis terbaru dari think tank global EMBER mengungkapkan bahwa Indonesia berpotensi menciptakan 96.000 lapangan kerja dengan peningkatan kapasitas energi bersih dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Indonesia dapat memenuhi permintaan listriknya pada tahun 2030 tanpa membangun pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) baru, dengan cara meningkatkan efisiensi PLTU yang ada dan menambah kapasitas energi terbarukan.
Laporan ini menganalisis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030 dan Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP). Laporan ini juga menjajaki strategi untuk memasukkan transisi yang adil ke dalam rencana energi di tingkat provinsi.
Sejak diperkenalkannya Kebijakan Energi Nasional (KEN) pada tahun 2014, bahan bakar fosil tumbuh pesat dan memasok hingga 81% listrik Indonesia. Penggunaan bahan bakar fosil, khususnya batu bara, meningkat secara signifikan dalam dekade terakhir. Dari tahun 2013 hingga 2023, pembangkitan bahan bakar fosil meningkat sebesar 50%, yang menyebabkan peningkatan emisi sektor listrik sebesar 86 juta ton CO2 (MtCO2).
Tahun ini, Indonesia akan meluncurkan KEN baru yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan energi dan mempromosikan transisi energi, dengan tujuan untuk mencapai puncak emisi pada tahun 2035 dan mencapai nol bersih pada tahun 2060. Namun, target energi terbarukan diperkirakan akan berkurang dari 23% menjadi sekitar 17-19% pada 2025.
Percepatan pengembangan energi terbarukan di wilayah penghasil batu bara dapat mengurangi emisi, menarik investasi, dan menciptakan lapangan kerja
Analisis ini menunjukkan bahwa permintaan listrik di jaringan listrik Indonesia diperkirakan akan meningkat sekitar 4,7% per tahun dari data terbaru tahun 2023, dengan pembangkitan listrik diperkirakan akan melebihi permintaan sebesar 42 TWh pada tahun 2030. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan kembali pembangunan PLTU baru, untuk menghindari risiko tinggi aset terlantar (stranded assets).
Selain itu, proyek-proyek energi terbarukan dapat membantu proses transformasi daerah-daerah penghasil batu bara seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Ketiga provinsi ini menghasilkan emisi sekitar 30 MtCO2e dari metana tambang batu bara dan PLTU.
Berdasarkan RUPTL terkini, proyek-proyek energi terbarukan dengan total kapasitas mencapai 21 GW akan ditambahkan hingga tahun 2030. Selain itu, JETP CIPP akan meningkatkan target penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 36 GW. Perencanaan proyek energi terbarukan di wilayah-wilayah penghasil batu bara dapat menciptakan 50.000 lapangan kerja dan menarik investasi senilai $4,3 miliar USD.
Percepatan proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembatalan penambahan PLTU baru dapat menciptakan 46.000 lapangan kerja tambahan, serta menarik lebih dari dua kali lipat investasi. Oleh karena itu, secara keseluruhan, hal in berpotensi mengurangi emisi sebesar 18 MtCO2e, menarik investasi lebih dari $9,4 miliar USD, dan juga menciptakan hampir 100.000 lapangan kerja berketerampilan tinggi.
“Transisi energi Indonesia dapat menjadi lebih berkeadilan dengan melakukan transformasi pemanfaatan batubara menjadi penggunaan yang berkelanjutan dan berfokus pada proyek energi terbarukan di wilayah-wilayah yang terkena dampak, serta merta dapat menciptakan kesempatan kerja baru, meningkatkan kompetensi masyarakat dan daya saing daerah.” kata Dr. Dinita Setyawati, Analis Senior Kebijakan Ketenagalistrikan Asia Tenggara, dari EMBER.
Dody Setiawan, Analis Senior Iklim dan Energi Indonesia, dari EMBER, menambahkan, “Transisi energi memberikan peluang untuk mengurangi ketergantungan terhadap batubara dan membangun ekonomi hijau di daerah penghasil batu bara serta menghindari emisi dari batu bara di daerah tersebut. Memasukkan target JETP ke dalam kebijakan dan perencanaan nasional dan daerah menjadi langkah pertama dalam merealisasikan potensi ini.”
Edo Mahendra, Dphil, Kepala Kantor Bersama dari Rumah PATEN, mengatakan, “Bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, transisi energi harus melayani dan mendukung kewajiban agenda pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Kemitraan dan kerja sama yang setara adalah kuncinya. Semua entitas, termasuk negara-negara maju dan lembaga keuangan pembangunan, perlu melampaui praktik bisnis seperti biasa, terutama dalam desain struktur pembiayaan dan instrumen pengurangan risiko.”
Mada Ayu Habsari, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menyatakan, “Penggunaan tenaga surya (PLTS) bisa menjadi tulang punggung transisi energi, tidak hanya dari sisi bauran energi namun efek domino yang ditimbulkan, antara lain peningkatan lapangan kerja di bidang green job. Selain itu, jika demand tumbuh, industri PLTS juga akan berkembang, dan ini yang menjadikan kekuatan Indonesia.” (bmz/*)