Bencana banjir akibat perubahan iklim di Kabupaten Parigi Moutong. (Foto: Agus Sigalei/ rindang.id)

RINDANG, PALU | Meski telah nyata terjadi, perubahan iklim disebut belum menjadi perhatian masyarakat lantaran informasi yang belum dipahami.

Tahun 2023 tercatat menjadi tahun terpanas dengan suhu rata-rata global naik mencapai 1,45°C atau di atas rata-rata suhu yang tercatat sejak 1850 sampai 1900.

Bersamaan dengan itu cuaca ekstrem, gelombang panas, banjir, banjir bandang, banjir rob, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan, dan siklon tropis terjadi.

Di laut perubahan ekosistem juga terjadi. Permukaan laut naik, semakin panas, dan asam. Karang-karang memutih dan mati yang membuat ikan-ikan pergi.

Perubahan kondisi bumi itu nyata terjadi. Sebabnya; gas rumah kaca, emisi dari industri, dan terus berkurangnya luasan hutan akibat dirambah.Dan manusia menjadi korban sekaligus turut menjadi sebab perubahan itu, Perubahan iklim.

Lantaran itu manusia kini dituntut makin peduli terhadap bumi dengan mitigasi dan adaptasi. Agar perubahan iklim bisa dikendalikan dan meminimalisasi dampaknya.

Untuk memantik kepedulian itu kapasitas literasi masyarakat yang mudah dipahami dinilai menjadi caranya.

“Masyarakat butuh informasi yang terhubung dengan keseharian. Misal, hubungan antara cara warga kelola sampah rumahnya atau sanitasi, hubungannya dengan banjir (la nina) atau kemarau panjang (el nino),” pegiat literasi Kota Palu, Neni Muhidin mengatakan.

Karena dampak perubahan iklim yang dirasakan bersama, Neni menyebut kolaborasi mesti digalang termasuk menentukan pola komunikasi yang efektif agar mampu menggerakkan masyarakat.

Jurnalis, penulis lepas, pegiat literasi, dan pegiat media sosial kata Neni bisa dilibatkan untuk menguatkan kolaborasi itu.

Kepala Stasiun Pemantau Global Atmosfer (SPGA) Lore Lindu Bariri, Sulawesi Tengah, Asep Firman Ilahi juga berpendapat sama. Dia menyebut kebutuhan literasi perubahan iklim untuk masyarakat makin terasa penting di saat tanda-tanda dampak yang nyata.

Informasi yang dibutuhkan itu bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitas agar masyarakat mudah memahaminya.

“Selama ini banyak informasi yang dikeluarkan termasuk pemda masih ambigu dan menimbulkan keraguan sehingga berpotensi menjadi hoaks. Juga belum ada informasi yang terpadu antar stakeholder,” Asep menerangkan.

Merefleksi itu SPGA Lore Lindu Bariri mulai membenahi dengan menginisiasi diskusi bersama berbagai pihak termasuk pemda untuk menentukan langkah diseminasi yang efektif pada 20 Juni lalu.

Penyederhanaan informasi untuk masyarakat kata Asep menjadi langkah mitigasi dan adaptasi yang efektif untuk pencegahan dampak perubahan iklim.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *