POSO, rindang.ID | Perkumpulan Jurnalis Wanita Indonesia (JUWITA) resmi diluncurkan pada Sabtu (17/5/2025) di Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Organisasi ini dibentuk sebagai ruang penguatan peran jurnalis perempuan serta pemberdayaan masyarakat melalui karya jurnalistik, dokumentasi, dan advokasi komunitas.
Peluncuran JUWITA digelar sederhana namun penuh makna, tepat di tengah masyarakat desa. Ketua JUWITA, Kartini Nainggolan menjelaskan organisasi ini lahir dari semangat jurnalis perempuan asal Kota Palu yang berbagi visi tentang pentingnya keterlibatan perempuan dalam membawa perubahan sosial lewat jurnalisme.
“Pada 28 November 2024, kami bertekad membentuk JUWITA. Dan pada 26 Januari 2025, organisasi ini resmi tercatat di Kementerian Hukum dan HAM,” terang Kartini dalam sambutannya.
Peluncuran di Desa Katu dipilih untuk menegaskan kedekatan JUWITA dengan masyarakat dan menjadi bagian dari komunitas.
Acara ini turut dirangkaikan dengan pelatihan pemanfaatan media digital untuk pembangunan desa serta peluncuran situs resmi pemerintah Desa Katu.
JUWITA juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang telah mendukung inisiatif ini.
Peluncuran Film Dokumenter “Kopi Tua Desa Katu”
Malam harinya, JUWITA bekerja sama dengan Alfatwa Multimedia meluncurkan film dokumenter berjudul “Kopi Tua Desa Katu”, yang mengangkat kisah pohon-pohon kopi tua di kawasan Kompo, peninggalan masa kolonial Belanda.
“Film ini adalah bentuk penghormatan terhadap warisan sejarah dan identitas masyarakat adat Katu,” ungkap Kartini.
Film berdurasi 25 menit ini mengajak penonton menyelami makna kopi tua sebagai simbol perjuangan dan identitas lokal.
Pemutaran film disambut hangat oleh masyarakat, tokoh adat, pemuda, dan tokoh perempuan. Diskusi setelah pemutaran dipandu oleh Yardin Hasan.
Tokoh adat Katu, Mature Rore, menyebut film ini sebagai pengingat sejarah perjuangan masyarakat menjaga wilayahnya. Tokoh pemuda Golstar menambahkan bahwa film ini memotivasi generasi muda untuk menjaga warisan desa.
Perempuan Desa Katu, Menis Torae, mengungkapkan kekagumannya setelah mengetahui letak dan sejarah kopi tua yang selama ini belum pernah ia kunjungi.
“Medannya sulit, tapi film ini memperlihatkan bahwa warisan itu nyata,” katanya.
Kopi Enthusiast, Ade Cholik Mustaqim menyatakan Desa Katu memiliki potensi besar untuk mengembangkan produk kopi unggulan. Sementara Direktur ROA, Subarkan, menilai film ini sebagai pintu masuk untuk mengenal Katu lebih dalam, tidak hanya sebagai desa penghasil kopi, tapi sebagai pusat budaya dan sejarah yang unik.
Film ini dijadwalkan tayang perdana dalam Festival Tampo Lore pada akhir Juni 2025.
Menjaga Warisan, Menumbuhkan Harapan
Film Kopi Tua Desa Katu tidak hanya menampilkan tanaman kopi berusia ratusan tahun, tetapi juga memotret perjalanan sejarah, perjuangan masyarakat adat, hingga lanskap budaya dan alam Desa Katu dari ladang padi, air terjun alami, hingga situs megalit ribuan tahun.
Peluncuran JUWITA dan film dokumenter ini menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali bahwa warisan tidak akan bertahan karena usia, tetapi karena dihormati dan dirawat bersama.



