Kondisi pegunungan di Kelurahan Buluri, Kota Palu yang menjadi area pertambangan Galian C. (Foto: BMZ/rindang.id)
Kondisi pegunungan di Kelurahan Buluri, Kota Palu yang menjadi area pertambangan Galian C. (Foto: BMZ/rindang.id)

RINDANG, PALU | Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur turut meningkatkan jumlah izin pertambangan Sirtu atau Galian C di Kota Palu dan Donggala yang mengakibatkan bencana ekologi.

Keran suplai material kontruksi dari Sulteng ke Kalimantan Timur, tempat IKN dibangun sudah dimulai tahun 2021 saat Pemprov Sulteng dan Kalimantan Timur meneken Memorandum Of Uderstanding (MOU) untuk pemenuhan logistik dan bahan baku kontruksi.

Sekitar 30 juta ton batu pecah akan dipasok dari usaha pertambangan di Sulteng yang memicu eksploitasi masif sumber daya alam.

Merujuk data Minerba One Map Indonesia (MOMI) Kementerian ESDM, pascaterbitnya UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) terjadi peningkatan signifikan penerbitan izin dan luas lahan pertambangan komoditas pasir, batu, dan kerikil (sirtukil) di Kota Palu, Donggala, dan Sigi.

Tahun 2021 Sebelum pembangunan IKN, tercatat ada 19 izin pertambangan yang tersebar di tiga daerah itu dengan total luas lahan konsesi 350.37 hektare.

Jumlah izin lalu melonjak sejak tahun 2022. Hingga tahun 2024 MOMI mencatat sudah ada sebanyak 69 izin yang eksisting dengan total luas lahan 1.764.41 hektare.

Di antara tiga daerah bertangga itu Izin pertambangan komoditas sirtukil terbanyak ada di Donggala yakni 36 izin dengan lahan seluas 737.78 hektare. Di Kota Palu sendiri jumlah izin tercatat 34 dengan luasan lahan 556.66 hektare.

Sementara itu di Sigi terdapat 2 izin dengan 150.91 hektare lahan.Ironisnya, masifnya aktivitas pertambangan sirtukil yang mayoritas berada di jajaran pegunungan Gawalise antara Kota Palu dan Donggala itu juga meningkatkan risiko bencana ekologi di sekitarnya.

Polusi debu, banjir lumpur, dan gangguan kesehatan menjadi ancaman warga sekitar tambang.

Puskesmas Tipo Anuntodea Kota Palu Tahun 2023 mencatat 2.422 warga mengalami gangguan infeksi saluran pernapasan. Mereka berasal dari Kelurahan Buluri, Watusampu, dan Tipo yang berada di sekitar kawasan pertambangan.

Bencana ekologi akibat eksploitasi gunung-gunung di kawasan itu pun tak kalah menakutkan.

Saban hujan lebat banjir lumpur yang membawa bebatuan jadi ancaman bagi warga dan jalan Trans Palu-Donggala. Seperti yang terjadi di Kelurahan Watusampu, Kecamatan Ulujadi, Minggu siang (1/9/2024).

30 kepala keluarga terdampak serta 15 rumah di kelurahan tersebut terendam lumpur yang datang dari pegunungan tepat di belakang permukiman warga. Lima KK bahkan terpaksa mengungsi akibat kerusakan parah rumah mereka.

“Beginilah kondisi kami, kalau cuaca panas debu di mana-mana, kalau hujan banjir lumpur sampai di jalan,” Monik, salah satu warga Kelurahan Watusampu mengeluhkan.

Walhi Sulteng menilai berbagai dampak itu mestinya jadi alasan pemerintah terkait melakukan evaluasi total terhadap aktivitas perusahaan dan melakukan audit lingkungan.

“Pemerintah dan otorita IKN harus memeriksa rantai pasok material yang di gunakan untuk membangun. Apakah berasal dari kegiatan yang ramah lingkungan atau tidak, perlu di evaluasi secara serius dan harus ada standarisasi pembelian material yang diberlakukan,” Direktur Walhi Sulteng, Sunardi Katili mengatakan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *