Kasus bom ikan di Sulteng yang diungkap Ditpolairud Polda Sulteng dan Dinas Kelautan Perikanan Sulteng, Kamis (22/8/2024).

RINDANG, PALU | Aktivitas pengeboman ikan di laut Sulawesi Tengah tercatat meningkat. Bom ikan sendiri tergolong dalam kejahatan luar biasa lantaran daya rusaknya terhadap lingkungan.

Di tiga wilayah perairan yakni Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Banggai, dan Morowali aparat Polairud Polda Sulteng pada 18 dan 19 Agustus menangkap 5 pelaku bom ikan dengan barang bukti 27 bom yang siap diledakkan. Bom-bom ikan itu masing-masing dikemas dalam botol bir berukuran 620 mililiter (ml).

Dari tiga wilayah itu, di Parimo dan Banggai para pelaku ditangkap saat tengah meledakkan bom nya di laut. Ekosistem lautpun kadung rusak.

Tapi seberapa merusakkah bom ikan terhadap ekosistem laut, yang membuat aktivitas ilegal tersebut tergolong Lex Specialis di depan hukum?

Kepala Bidang Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulteng, Agus Sudaryanto mengungkapkan daya rusak bom ikan tidak main-main. Satu gram saja bahan peledak yang digunakan bisa merusak ekosistem laut seluas 100 meter persegi.

“Itu belum termasuk getaran akibat bomnya yang bisa meluas. Ikan dengan berbagai ukuran, karang, dan biota-biota laut lain akan hancur bahkan mati,” kata Agus, Sabtu (24/8/2024).

Karang menjadi biota laut yang paling terancam akibat bom ikan. Ini karena pemulihan secara alaminya yang butuh waktu bertahun-tahun.

Celakanya rusaknya karang bisa menimbulkan multiefek hingga ke ekonomi kelautan sebab karang menjadi indikator keberadaan ikan.

“Bahkan jika pemulihan karang dilakukan dengan transplantasi tetap butuh waktu lama,” Agus menjelaskan.

Bom ikan menjadi cara menangkap ikan yang cepat yang kerap dilakukan nelayan tak bertanggungjawab atau tanpa melihat efek jangka panjangnya.

Sekali meledak semua yang ada di laut dalam radius tertentu akan mati tanpa terkecuali.

Pencegahan aktivitas ilegal itu di Sulawesi Tengah belum sepenuhnya maksimal dan butuh sinergi berbagai pihak terkait. Setiap tahun sendiri kasus bom ikan selalu terjadi.

Ditpolairud Polda Sulteng mencatat sepanjang tahun 2023 diungkap 16 kasus kejahatan di laut dengan kasus Destructive Fishing sebanyak 8 kasus. Sementara tahun 2024, hingga bulan Agustus saja telah ada 12 kasus Destructive Fishing atau penangkapan ikan dengan bom.

“Sembilan kasus di 2024 sudah mendapat putusan pengadilan,” kata Kasubdit Gakkum Polairud Polda Sulteng, Kompol Karel Paeh, Sabtu (24/8/2024).

Aktivitas pemboman ikan dengan daya rusak yang dahsyat itu juga mengancam kelestarian Kawasan Konservasi Laut Sulawesi Tengah yang seluas 1,3 juta hektare dari total luas wilayah laut Sulteng yang mencapai 74.452.37 km persegi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *