PALU, RINDANG | Mahasiswa magang yang tergabung dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Wallacea Project melalui PT Amati Karya Indonesia berkolaborasi dengan Yayasan Rumah Bahari Gemilang (Rubalang) dan didukung oleh Arkom Palu dan Kelompok Huntap Mosinggani menggelar pendidikan konservasi kepada sejumlah anak di wilayah pesisir, tepatnya di pesisir Pantai Mamboro, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (1/6/2024).
Mereka merekrut sejumlah anak mulai dari usia 4 tahun hingga anak kelas 2 SD, dan anak kelas 3 SD hingga kelas 3 SMP untuk diberi pendidikan dasar konservasi yang kali ini bertajuk Sampah Plastik. Puluhan anak-anak tersebut dikelompokkan sedemikian rupa kemudian dikenalkan dengan sampah plastik, tak hanya manfaatnya, tapi juga prosesnya hingga bisa berbahaya bagi lingkungan dan manusia.
Asep, salah seorang fasilitator dari Yayasan Rubalang menjelaskan, anak-anak usia SD yang kebetulan ditanganinya dibagi ke dalam dua kelompok. Setiap kelompok akan diberi tugas terkait dengan sampah plastik. Namun sebelum tugas itu dikerjakan, fasilitator yang terdiri dari mahasiswa program tersebut akan membekali dengan pengetahuan sampah plastik yang diperlukan.
“Mereka dikenalkan dengan jenis-jenis sampah plastik, bagaimana mengidentifikasinya, bagaimana sampah plastik tercipta, lalu siapa yang sering menghasilkan sampah plastik, bagaimana prosesnya hingga sampah plastik itu bisa sampai ke laut, menjadi mikro plastik, dan kemudian menjadi berbahaya jika dikonsumsi ikan, lalu ikan itu dikonsumsi mansuia,” jelas Asep.
Pada proses pembelajaran itu, setiap kelompok melewati sedikitnya enam pos permainan untuk dapat dinyatakan berhasil. Setiap pos merupakan evaluasi atas apa materi yang sudah diberikan. Pos-pos itu antara lain Pos Takeshi, Pos Ular Tangga, dan Pos Rangking 1.
Pengenalan sampah plastik itu disambut dengan penuh antusias puluhan anak yang mengikutinya, terlebih dilakukan dengan metode games atau permainan. Sejumlah orang tua yang hadir menyaksikan pos evaluasi itu terlihat ikut gemas dengan metode permainan yang dimainkan anak-anaknya.
Di kelompok lain dari program pendidikan konservasi usia dini itu, anak-anak usia 4-7 tahun dilatih mengenali sampah dengan membuat mosaik, yaitu menempelkan dedaunan ke bingkai aneka gambar, seperti bingkai gambar kulit pisang, kantong kresek, botol kemasan minuman bekas.
Tak sekadar menempelkan dedaunan yang banyak terdapat di sekitarnya, bingkai gambar itu juga dilengkapi dengan tulisan masa degradasi atau masa daur ulang suatu jenis sampah, misalnya kantong kresek hanya bisa terurai setelah 20 tahun, kemasan bekas air minum bisa terurai setelah 450 tahun, kulit pisang terurai dalam waktu yang jauh lebih cepat dari plastik.
Intan Wahyuningsih, fasilitator kegiatan itu membeberkan, Pendidikan Konservasi itu adalah implementasi dari modul pendidikan maritim yang dibuat Yayasan Rubalang yang materinya tentang konservasi mangrove dan sampah plastik. Namun kali ini lebih spesifik ke sampah plastik.
Kenapa harus sampah plastik? Intan menjelaskan, anak-anak peserta pendidikan konservasi ini adalah mereka yang bermukim di daerah pesisir yang kesehariannya dipastikan banyak bersentuhan dengan sampah plastic.
“Dan karenanya perlu tahu dan mengenalinya serta mengidentifikasinya agar memberi wawasan bahwa ternyata plastik ini bisa bermanfaat tetapi sekaligus bisa jadi ancaman,” jelas Intan.
Sementara itu, Ketua RT Huntap Mandiri Mosinggani Mamboro, Emilia menyambut baik dan bahkan mengapresiasi inisiatif mahasiswa magang yang berkolaborasi dengan Yayasan Rubalang dan Arkom Palu itu untuk menggelar pendidikan konservasi di wilayahnya itu.
Emilia mengatakan, jangankan bocil-bocil, sampah plastik seperti yang diajarkan kepada anak-anak itu juga banyak yang tidak diketahui oleh orang-orang tua. Sehingga dengan adanya Pendidikan konservasi itu diharapkan tidak hanya menambah pengetahuan bagi anak tapi sekaligus memperluas cakrawala para para orang tua tentang sampah plastik.
“Alhamdulillah ini bisa digelar di Huntap Mamboro, dan saya berharap kalau ada lagi kegiatan seperti ni agar tetap dilaksanakan di tempat ini,” ujar Emilia yang sebelumnya terus mengikuti proses pembelajaran itu.
Pendidikan konservasi itu diikuti sejumlah mahasisa magang program MBKM dari sejumlah universitas seperti Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Tadulako, Universitas Bina Taruna Gorontalo, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Makassar Maju, Sekolah Tinggi Teknologi Minyak dan Gas Bumi Balikpapan. (bmz)