DENPASAR, rindang.ID | Organisasi Masyarakat sipil dari berbagai penjuru dunia mengadakan pertemuan di Denpasar, Bali pada 25-26 Februari 2025 untuk membahas perlindungan hutan hujan tropis yang semakin terancam oleh kebijakan transisi energi berbasis pemanfaatan lahan. Hutan kini didorong untuk menjadi sumber energi baru, yang akan menyebabkan deforestasi besar-besaran.
Pada Conference of Parties (COP) 26 yang diadakan di Glasgow, percepatan transisi energi muncul sebagai salah satu solusi untuk memerangi perubahan iklim yang disebabkan oleh bahan bakar fosil yang merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Namun kini, beberapa negara mulai menggunakan solusi palsu untuk transisi energi.
“Pemanfaatan terbaik dari hutan untuk mengatasi krisis iklim dan sekaligus krisis keanekaragaman hayati, adalah melindungi dan memulihkan hutan alami yang menjadi tempat penyimpan karbon dalam jumlah besar yang dijaga agar tidak masuk ke atmosfer dan terus menyerap lebih banyak karbon. Sistem penghitungan karbon yang cacat gagal menunjukkan emisi energi biomassa dalam sektor energi bersamaan dengan emisi bahan bakar fosil, sehingga menciptakan kesan keliru tentang nol emisi, atau netralitas karbon, yang keduanya terbukti sepenuhnya keliru.” Peg Putt, Koordinator Biomass Action Network, EPN International.
Pada tahun 2021, energi terbarukan dari tenaga air mendominasi dengan menghasilkan 4.257 TWh, diikuti oleh energi angin (1.838 TWh) dan energi surya (1.034 TWh). Sementara itu, bioenergi dianggap sebagai salah satu “solusi” transisi energi yang memiliki peran signifikan dengan kontribusi sebesar 615 TWh. Asia merupakan pemimpin dalam pertumbuhan pembangkit bioenergi, dengan peningkatan luar biasa sebesar 35 TWh pada tahun 2021.
Pada tahun 2020, listrik yang dihasilkan dari biomassa secara global mencapai 685 TWh. Dari seluruh sumber daya biomassa, 69% berasal dari biomassa padat, terutama kayu, diikuti oleh 17% dari limbah kota dan industri. Asia menjadi penyumbang utama pasokan biomassa global, dengan kontribusi 40% dari total pasokan biomassa dunia. Sementara itu, Eropa menjadi produsen utama pelet kayu, menyumbang lebih dari 55% produksi global. Laporan terbaru dari Environmental Paper Network, Burning Up the Biosphere: A Global Threat Map of Biomass Energy Development, menemukan bahwa substitusi biomassa hutan (kayu) untuk batu bara dalam skala besar diproyeksikan akan meningkat tiga kali lipat antara tahun 2021 dan 2030.
Sebagai salah satu solusi transisi energi yang digencarkan, penggunaan biomassa adalah solusi palsu karena energi biomassa menyebabkan deforestasi. Pasokan biomassa dalam jumlah besar membutuhkan perkebunan monokultur, yang memicu deforestasi. Trend Asia menemukan bahwa di Indonesia, hutan tanaman energi membutuhkan 7.781.626 hektare tanaman gamal atau 2.334.488 hektare tanaman lamtoro. Selain itu, pembakaran biomassa hutan menghasilkan emisi CO2 yang setara dengan batu bara per unit energi yang diproduksi, sehingga tidak memberikan manfaat bagi iklim.
Transisi Energi dan Dampaknya
“Bagi Indonesia, janji transisi energi justru telah menyebabkan deforestasi besar-besaran dan eksploitasi sumber daya alam yang hampir tidak memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Sementara itu, target bauran energi terbarukan Indonesia masih jauh dari tercapai dan produksi batu bara terus meningkat. Atas nama transisi energi, misalnya, deforestasi akibat pertambangan nikel di Indonesia pada 2023-2024 mencapai 85.378 hektar, sementara akibat pertambangan bauksit mencapai 58.103 hektar. Sejak promosi hutan tanaman energi untuk biomassa dan pembukaan pasar baru untuk pelet kayu, deforestasi di wilayah izin usaha pemanfaatan hutan pada 2023-2024 telah mencapai lebih dari satu juta hektare. Ironisnya, deforestasi akibat tambang batu bara terus meningkat dan mencapai lebih dari 1,3 juta hektar pada 2020-2024.” Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia.
“Hutan-hutan Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati dan karbon—rumah bagi 50 hingga 70 juta masyarakat adat—menghadapi titik kritis yang tidak dapat diubah pada 2040 akibat ekspansi pesat energi biomassa dalam pembangkit listrik. Laporan kami, Unheeded Warnings: Forest Biomass Threats to Tropical Forests in Indonesia and Southeast Asia, yang dikembangkan bersama mitra, mengungkap risiko kritis dari industri ini. Pertumbuhan biomassa tidak hanya mengancam ekosistem regional tetapi juga mata pencaharian komunitas adat yang bergantung padanya untuk bertahan hidup. Alih-alih mengandalkan solusi iklim yang keliru, kita harus mengadopsi sumber energi yang benar-benar terbarukan, berkelanjutan, dan berkeadilan. Tindakan mendesak diperlukan untuk mencegah konsekuensi yang menghancurkan bagi manusia dan alam.” Florencia Librizzi, Direktur Program Earth Insight.
Ekstraksi Mineral untuk Transisi Energi
Selain bioenergi, beberapa teknologi energi terbarukan masih membutuhkan mineral dalam jumlah besar, membuat masa depan rendah emisi lebih bergantung pada mineral dibandingkan teknologi listrik berbasis bahan bakar fosil. Namun, ekstraksi mineral ini sering terjadi di kawasan hutan, yang menyebabkan deforestasi. Misalnya, terdapat berbagai pilihan teknologi untuk energi angin, seperti ukuran turbin dan orientasi rotasinya. Mineral penting seperti aluminium, tembaga, kromium, baja, nikel, seng, dan besi diperlukan untuk instalasi turbin angin.
Tembaga, aluminium, kromium, mangan, molibdenum, dan nikel memainkan peran penting dalam berbagai teknologi rendah karbon, menjadikannya elemen esensial untuk mewujudkan masa depan rendah karbon. Identifikasi mineral yang terkait dengan teknologi energi dalam skenario mitigasi berbasis teknologi tidak bersifat komprehensif.
Di Filipina, ekstraksi mineral menjadi ancaman utama bagi keanekaragaman hayati.
Lebih dari 50% wilayah biodiversitas negara ini menjadi wilayah operasi pertambangan. Bantay Kita mencatat bahwa pemerintah Filipina telah memproyeksikan peningkatan 190 proyek pertambangan baru dalam 4 tahun ke depan, dan sebagian besar berlokasi di wilayah adat.
Kecuali di Benguet dan Palawan, tingkat kemiskinan di provinsi-provinsi Filipina yang memiliki operasi pertambangan lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Mata pencaharian tradisional masyarakat adat dan komunitas lokal, seperti pertanian dan perikanan, terdampak oleh operasi pertambangan nikel. Namun, sektor pertambangan hanya menyumbang 0,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Filipina.
“Transisi energi yang berkeadilan memastikan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal yang berada di garis depan pertambangan mineral transisi dan deforestasi diperlakukan dengan bermartabat dan dihormati, serta memiliki akses yang setara terhadap manfaat dari masa depan yang netral karbon,” Beverly Besmanos dari Bantay Kita.
Transisi energi juga membabat hutan di Brazil, negara tempat COP 30 akan diselenggarakan. Di Brazil, penggundulan hutan disebabkan oleh penambangan emas untuk memenuhi kebutuhan negara-negara Uni Eropa. Berdasarkan data Instituto Escolhas, 94% impor emas Uni Eropa dari Brazil berisiko tinggi mengalami pelanggaran hukum.
Industri pertambangan di Brasil menyebabkan penggundulan hutan dan juga berdampak pada masyarakat adat. Pada tahun 2021, Escolhas mencatat bahwa telah terjadi peningkatan deforestasi tujuh kali lipat yang disebabkan oleh penambangan di Amazon selama tujuh tahun terakhir. Masyarakat adat telah berjuang melawan gelombang aktivitas ilegal yang meningkat di tanah mereka.
“Di Brasil, penambangan telah mendorong penggundulan hutan dan invasi tanah masyarakat adat terutama karena emas. Dengan meningkatnya permintaan mineral untuk mendorong transisi energi, situasinya berisiko menjadi lebih buruk. Jika kita menginginkan transisi yang benar-benar adil, kita harus memastikan perlindungan lingkungan dan sosial.” Larissa Araujo Rodrigues dari Instituto Escolhas.
Di Cile, penggundulan hutan menyebabkan militerisme. Di Wallmapu, wilayah leluhur Mapuche, pemerintah Chile mengumumkan keadaan darurat sejak pandemi. Perusahaan kehutanan melanggengkan kekerasan historis terhadap penduduk, termasuk intimidasi, perampasan, pembunuhan, dan penghilangan orang muda, perempuan, dan aktivis.
Penerapannya, yang dipromosikan secara paksa melalui Undang-Undang Dekrit 701 pada awal kediktatoran 1973, telah diperkuat selama 5 dekade terakhir dengan memprioritaskan subsidi dan manfaat bagi perusahaan, bukan masyarakat.
“Saat ini kami terus memperjuangkan keadilan sosial dengan menghasilkan alternatif untuk proyek transisi energi ekstraktif, mengakuinya sebagai solusi palsu untuk perubahan iklim dan tahap baru perampasan kolonial oleh kekuatan dunia atas wilayah-wilayah di Global Selatan.” Diego Oyarzo dari Collectivo VientoSur.
“Bioenergi, pembakaran biomassa full-firing maupun co-firing – bukan merupakan pembangkit energi rendah karbon dan tidak berkontribusi terhadap transisi energi yang adil. Melainkan solusi palsu yang mengalihkan perhatian dan menunda penghentian bahan bakar fosil secara langsung dan cepat,” kata Souparna Lahiri, Global Forest Coalition.
Penghentian bahan bakar fosil secara langsung dan cepat adalah syarat utama untuk transisi yang adil yang harus adil dan setara dan harus mengarah pada dan mengakhiri model kolonial ekstraktivisme yang telah mendorong kapitalisme yang bertanggung jawab atas krisis iklim. Munculnya isu-isu yang terkait dengan mineral dan pertambangan kritis di dunia merupakan ancaman terhadap transisi energi yang adil. Model paradigma energi terbarukan sebaiknya dipimpin dan dikendalikan oleh masyarakat, dan tujuan bersama tentang tanah kita di mana manusia dapat hidup berdampingan dengan alam. (bmz/*)