Malam itu di halaman kecil “Nemu Buku”, obrolan tentang Palu masa depan dibuka dengan sesederhana suguhan pisang rebus dan kopi panas.
Di Jalan Tanjung Tururuka, Jumat malam (7/11/2025), puluhan orang duduk lesehan, menyimak satu tema yang mungkin bagi sebagian orang terasa “ilmiah” namun sesungguhnya menyangkut keselamatan hidup mereka sendiri: jejak gempa dan likuefaksi di Palu, bagaimana ia harus dipahami, dan bagaimana ia harus dikenang.
Saya datang belakangan. Duduk di baris belakang. Telinga saya langsung menangkap satu kalimat pendek dari pembicara
“Penting untuk mengonservasi jejak-jejak gempa dan likuefaksi di Palu dan menetapkan 28 September sebagai hari peringatan daerah.”
Kalimat itu datang dari Dr. Supartoyo, peneliti Badan Geologi. Ia bicara tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Palu 28 September 2018. Tentang tanah yang bukan sekadar “bergetar”, tapi mencair, mengalir, lalu memindahkan rumah, pohon, bahkan manusia.
Sudah lebih dari tujuh tahun peristiwa itu terjadi. Namun terutama bagi warga Palu, khususnya di wilayah bekas likuefaksi, pertanyaan yang sebenarnya belum pernah benar-benar hilang adalah: “apakah itu bisa terulang?”
Di diskusi itu, fakta-fakta baru bermunculan. Beberapa bahkan tidak pernah saya dengar sebelumnya. Supartoyo menjelaskan bahwa Badan Geologi memberikan nama khusus untuk likuefaksi yang terjadi di Palu: likuefaksi tipe aliran (flow failure). Ia berbeda dari likuefaksi di banyak lokasi lain yang hanya memunculkan semburan pasir (sand blow).
“Di Palu, aliran itu bergerak dan menghancurkan. Dan ini bukan yang pertama kali,” jelasnya.
Penelitian arkeologi tanah di kawasan Jalan Pipa Air, Kelurahan Donggala Kodi, Kota Palu yang pernah dilakukan Supartoyo dan tim setelah likuefaksi 2018 membuktikan hal itu. Lapisan tanah memperlihatkan rekam jejak likuefaksi serupa pernah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun lalu.
Dan itulah mengapa Palu punya kondisi unik; likuefaksi tipe aliran tidak bisa dihilangkan apalagi direkayasa untuk hilang. Berbeda sengan tipe Semburan pasir yang bisa dikurangi dengan metode infrastruktur tertentu. Tapi tipe aliran? Tidak bisa.
Mitigasi satu-satunya adalah adaptasi: fondasi tiang pancang yang lebih dalam, bangunan yang lebih ringan, serta pengaturan pemanfaatan ruang yang disiplin.
Dalam pandangan Supartoyo, pengetahuan ini tidak cukup berhenti di forum akademik, diskusi, atau seminar.
Ia berharap pemerintah daerah berani membuat regulasi. Sebab payung hukum lokal akan jauh lebih menentukan dibandingkan hanya imbauan ilmiah.
“Kalau ini hanya disampaikan badan geologi, lalu tak masuk ke regulasi, ya tak akan mengubah apa pun,” katanya.
Dan dari sinilah ide itu muncul: Menetapkan 28 September sebagai hari peringatan daerah, bukan hanya untuk mengenang, tetapi menjadi pintu edukasi formal agar pengetahuan tentang risiko geologi Palu diwariskan lintas generasi.
Waktu terus mengalir. “Ngaji Likuefaksi” ini tetap hangat dan santai. Tapi sesungguhnya, dari halaman lesehan sederhana ini sebuah cara melihat Palu yang lebih jujur muncul: kota yang berdiri di atas sejarah alam yang bergerak. Kota yang pernah jatuh, dan bisa jatuh lagi, apabila jika kita mengabaikan pengetahuan.
Tak ada simpulan atau rekomendasi yang tercatat resmi dari forum ini. Tapi bahan refleksinya jelas menjadi oleh-oleh untuk saya dan seperta lainnya.
Dan kalimat yang paling mengendap di kepala saya ketika berjalan pulang malam itu adalah yang terlontar perlahan dari salah seorang peserta.
“Peristiwa Palu adalah pengetahuan. Pengetahuan itu harus dihidupkan, bukan dilupakan.”
Penulis: Heri Susanto



