PALU, rindang.ID | Isu lingkungan di Palu terus menumpuk: tambang, alih fungsi lahan, sampah. Namun kesadaran baru sedang tumbuh dari generasi muda, lewat jurnalisme. ‘Tongbasuara’ nama perkumpulan mereka.
Bak ruang redaksi sungguhan, ruangan di lantai dasar Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Palu di Jalan Sukarno Hatta, Minggu siang itu (19/10/2025), riuh oleh ide-ide peserta Workshop Jurnalistik Tongbasuara.
Tiga pekan sejak pertengahan Oktober 2025, belasan anak muda dari beberapa komunitas di Kota Palu menimba pengetahuan tentang jurnalisme. Filosofi, teknis, hingga menghasilkan karya mereka pelajari dari mentor.
“Saya mau menulis tentang anak-anak yang kehilangan ruang bermain di sekitar lokasi tambang,” kata Fajri, salah satu peserta.
Sebuah kerangka tulisan kemudian ia presentasikan. Di dalamnya ada daftar narasumber, data, hingga visual yang dibutuhkan.

Peserta lain, Mardiana, memaparkan rencana liputan tentang berkurangnya lahan sawah di lingkungannya akibat alih fungsi.
“Kalau sawah terus berkurang, ketahanan pangan jadi terancam,” ujarnya.
Selain ide dari Fajri dan Mardiana, peserta lain juga mengajukan rencana liputan yang tak kalah menarik: fenomena sampah pakaian dan dampaknya terhadap pencemaran, pengolahan limbah rumah tangga dan kontribusinya pada pengurangan timbulan sampah, hingga masalah tata ruang dan risiko bencana. Semua ide itu tumbuh dari masalah yang mereka lihat langsung di keseharian.
Begitulah suasana dua hari kelas menulis. Pada kelas lanjutan, peserta diberi pengetahuan fotografi dan videografi, dua pendekatan jurnalistik yang tak kalah penting.
“Selama ini banyak soal lingkungan di sekitar saya yang ingin saya tulis dan publikasikan, tapi belum tahu bagaimana caranya,” kata Refor.
Workshop yang dirancang interaktif, penuh permainan dan praktik itu, menurut Basri Marzuki, jurnalis rindang.id, salah satu mentor kelas, terasa penting bukan sekadar agar anak muda “cinta lingkungan”. Ada hal yang lebih strategis.

“Generasi muda adalah pembentuk wacana hari ini, bukan besok lagi,” tegas Basri.
Ia menjelaskan, platform komunikasi hari ini didominasi anak muda. Ketika jurnalisme mengangkat isu lingkungan dalam format yang dekat dengan keseharian mereka, wacana publik soal lingkungan akan ikut bergeser. Kesadaran mereka akan mempengaruhi arah percakapan publik.
“Banyak masalah lingkungan terjadi karena kesenjangan informasi. Penambangan pasir, deforestasi, overfishing, tata ruang yang amburadul, sering terjadi diam-diam di luar radar media arus utama. Jurnalisme bisa menjadi jalan mengemas narasi warga,” tambahnya.
Aldrim Thalara, jurnalis rindang.id yang juga menjadi mentor, menilai bahwa ketika isu lingkungan dibawa ke level “dekat dengan keseharian”, ia tak lagi menjadi isu idealis tapi menjadi isu eksistensial.
“Jurnalisme membuat anak muda tidak hanya peduli, tetapi juga sadar kebijakan. Jurnalisme melatih cara berpikir sistemik, bukan sekadar moralitas,” jelas Aldrim.
Masih ada beberapa bulan sebelum belasan peserta Tongbasuara menghasilkan karya pertama mereka: tulisan, video, dan foto. Mungkin belum sekelas Kompas, Tempo, atau Antara.
Namun, membangun kesadaran generasi muda soal lingkungan lewat jurnalisme adalah modal kesadaran dan investasi masa depan.
“Karena jurnalisme memberi mereka alat baca untuk memahami bagaimana kekuasaan, ekonomi, dan ruang hidup saling mempengaruhi. Sehingga mereka bisa menjadi warga yang kritis dan aktor perubahan, bukan cuma penonton,” Basri memungkasi.



