Poster Indonesia Climate Justice Summit. (©ICJS)
Poster Indonesia Climate Justice Summit. (©ICJS)

Lahir dari Kegagalan Negara, Indonesia Climate Justice Summit akan Usung RUU Keadilan Iklim

JAKARTA, rindang.ID | Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) akan menggelar Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) pada 26-28 Agustus 2025 di Jakarta dengan menghadirkan 500-1000 peserta dari berbagai kalangan masyarakat rentan.

Forum temu rakyat ini akan dibuka dengan pernyataan dari delapan subjek rentan yang akan menyampaikan langsung dampak krisis iklim yang mereka alami. RUU Keadilan Iklim yang diinisiasi masyarakat sipil akan menjadi agenda utama dalam forum ini.

“Krisis iklim hari ini bukan sekadar soal cuaca atau banjir. Persoalan ini adalah soal politik, sejauh mana negara hadir menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya untuk memastikan bumi dan rakyatnya keluar dari masalah,” ujar Torry Kuswardono dari Yayasan PIKUL.

ARUKI menyebut ICJS lahir dari keresahan rakyat atas kegagalan negara menangani krisis iklim. Forum ini mengundang DPR untuk berdiskusi karena sebagai wakil rakyat mereka berkewajiban mengakomodasi aspirasi publik dalam setiap pembahasan kebijakan.

“RUU Keadilan Iklim adalah kebutuhan mendesak. Tanpa payung hukum yang jelas, masyarakat dan sumber daya alam Indonesia akan terus menjadi korban. RUU ini hadir sebagai satu-satunya harapan untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” jelas Raynaldo Sembiring dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).

Armayanti Susanti dari Solidaritas Perempuan menegaskan ICJS menjadi ruang penting bagi suara perempuan yang selama ini terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan.

“Krisis iklim telah memperberat beban perempuan, dari hilangnya akses air bersih hingga meningkatnya risiko kekerasan. Karena itu, kebijakan ke depan harus memastikan perlindungan dan partisipasi penuh perempuan,” ujarnya.

Sementara itu, Erwin Suryana dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan krisis iklim membuat nelayan kehilangan hasil tangkap dan terancam keselamatannya di laut.

“Lebih berat lagi, proyek-proyek pembangunan di pesisir justru menggusur ruang hidup kami. Jika suara nelayan terus diabaikan, maka kami akan selalu jadi korban, baik di laut maupun di darat,” ungkapnya.

Dalam catatan ARUKI, lebih dari 28.000 bencana iklim terjadi dalam satu dekade terakhir, berdampak pada lebih dari 38 juta jiwa, dengan kerugian ekonomi mencapai Rp544 triliun hanya dalam periode 2020-2024.

ICJS mengusung tema “Gerakan Rakyat, Solusi Rakyat: Mengukuhkan Keadilan Iklim dari Lokal ke Global” dan akan menghadirkan peserta dari masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, buruh, miskin kota, orang muda, hingga penyandang disabilitas.

Forum ini hadir sebagai ruang politik rakyat untuk merumuskan tuntutan bersama, sekaligus menegaskan posisi masyarakat sipil menuju Konferensi Iklim COP30 di Brasil.

Selain pleno dan lokakarya tematik, ICJS juga akan menampilkan panggung ekspresi rakyat dan pawai. ARUKI mengundang jurnalis untuk meliput ICJS guna menyuarakan aspirasi kelompok rentan serta memperluas perhatian publik terhadap urgensi RUU Keadilan Iklim.

“Media adalah jembatan agar suara rakyat di akar rumput terdengar luas. Jika pemerintah menutup telinga, biarlah dunia tahu bahwa rakyat Indonesia menolak eksploitasi, menuntut tanggung jawab, dan menegaskan bahwa alam, lingkungan, dan sumber daya kami bukan komoditas,” tegas Risma Umar dari Aksi! For gender and ecological justice. (bmz/*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top